Bershalawat dengan cinta. Andai keutamaan shalawat yang banyak itu. Tidak ada sekalipun. Maka kita tetap tak pantas bila tak melazimkan sholawat. Yang mengerti besarnya kebaikan Rasulullah ﷺ terhadap kehidupannya, pastilah akan selalu mengenang dan mendoakan beliau.
Sifat dasar manusia adalah keinginan membalas. Bila ia diperlakukan baik atau ditolong, maka muncul keinginan membalas budi. Begitupun sebaliknya, keburukan juga akan mendorong hasrat membalas keburukan. Kecuali muncul upaya bersabar dan memaafkan. Dan itu butuh perjuangan.
Rasulullah ﷺ adalah sosok yang paling memberi banyak kebaikan kepada kita. Dalam urusan dunia, lebih-lebih akhirat. Balas budi yang paling tampak dan ringan itu adalah bersholawat untuk beliau. Dengan sholawat yang tidak hanya untuk tujuan mencari keutamaan dan pahala yang menguntungkan diri kita saja. Tapi sebagai ungkapan rasa terima kasih dan syukur atas kebaikan dan rahmat yang telah beliau tebarkan di muka bumi.
Beliaulah yang mengenalkan kita kepada Rabb kita Allah ta’ala, lalu bertauhid kepada-Nya. Rasulullah ﷺ mengarahkan pada akidah yang benar. Ibadah yang lurus. Agama yang diridhai. Membuka jalan ketenangan dalam keyakinan yang kuat. Tentang takdir, tentang balasan akhirat, tentang perhatian dan kemurahan-kemurahan Allah ta’ala.
Untuk bisa mewujudkannya, beliau mempertaruhkan harta dan nyawa. Dilukai jasad dan batinnya. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk membukakan jalan petunjuk bagi ummatnya.
Allah ta’ala sudah menetapkan, bahwa pemilik petunjuk itu ada pada laki-laki Quraisy keturunan Nabi Ismail. Kemuliannya bukan hanya karena ketinggian akhlaknya. Kemuliannya, mutlak adalah karena Allah ta’ala sendiri yang memuliakan beliau. Sebagaimana Allah ﷻ menetapkan keadaan langit dengan keadaaannya yang kita lihat hari ini, bumi yang kita pijak, dan mahluk-mahluk lain sesuai manzilahnya.
Begitupun Rasulullah ﷺ. Beliau mulia sejak Qolam mencatatkan takdir seluruh mahluk semesta. Limapuluh ribu tahun sebelum alam diciptakan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah telah menulis takdir seluruh makhluk ciptaan-Nya semejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim).
Maka tak perlu khawatir mengganggu keyakinan kepada Allah ﷻ sebagai sumber segala sebab, kalau kita berkata, “Andai tidak ada Rasulullah, maka kita tetap dalam kejahiliyahan. Yang karenanya kita mendapatkan alasan kuat untuk disiksa di akhirat.” Itu adalah ungkapan dzahir, sebagai makna penghormatan pada jasa Rasulullah ﷺ.
Mencintai Rasulullah ﷺ adalah kecintaan tertinggi. Tidak perlu tapi. Mengagungkan kemuliannya tak memiliki tepi. Kerinduan kepada beliau harus terbawa sampai mati.
Ada yang bertanya, apakah gambaran-gambaran kemuliaan di atas tak berlebihan? Bagaimana kalau sampai menyandingkan kedudukan Rasulullah ﷺ dengan Allah ta’ala.
Biasanya pernyataan ini muncul ketika membandingkan dengan kaum Nasrani yang dimurkai lantaran menjadikan Nabi Isa sebagai Tuhan (anak Tuhan).
Meskipun sebenarnya, sumber was-was tersebut adalah dari kurangnya Ilmu, gagal menyimpulkan sebuah pemahaman, ditambah egoisme pribadi. Yang ditimpa was-was itu karena rendahnya ilmu dan gagal mengambil kesimpulan tentang sejarah kaum Nabi Isa sendiri. Perhatikan, apakah kecintaan kaum Nabi Isa itu yang membuat mereka tersesat?
Kalau karena kecintaan kepada Nabi Isa yang membuat tersesat, maka 12 sahabat Hawariyyun Nabi Isa, yang menemani beliau di rumah kasih di jelang peristiwa Salib dan diangkatnya Nabi Isa ke Langit, merekalah yang mendapatkan laknat dari Allah ﷻ. Nyatanya tidak. Justru mereka mulia kedudukannya karena kedekatannya dengan Nabi Isa.
Kesesatan kaum Nabi Isa itu terbagi dua. Kesesatan pertama adalah kaum yang bersama dengan beliau saat beliau masih hidup. Sesat karena justru memusuhi dan merendahkan Nabi Isa. Sampai berujung percobaan pembunuhan. Mereka orang-orang Bani Israel.
Kesesatan kedua adalah orang-orang setelah beliau “dianggap” wafat. Kesesatan mereka adalah karena menyebut Nabi Isa sebagai anak Tuhan. Tuhan dalam Isa, Isa dalam Tuhan. Siapa mereka? Mereka sebagian besar adalah orang-orang Romawi. Yang membuat konsep ketuhanan Isa bukan dari landasan kecintaan. Tapi karena bawaan keyakinan pagan sebelumnya yang mereka bawa.
Jadi premis sederhananya begini: Orang Nasrani tersesat karena menganggap Nabi Isa sebagai Tuhan. Maka, selama tidak menganggap Nabi Isa sebagai Tuhan, ya, tidak tersesat. Semudah itu memahaminya.
Kalau itu berlaku kepada Nabi Isa, apalagi kepada Rasulullah ﷺ. Penghulu para nabi. Yang tidaklah nabi-nabi sebelumnya diutus, kecuali membawa amanah suci untuk mengabarkan kedatangan Rasul mulia bernama Ahmad.
Perhatikan ucapan Nabi Isa ini. “Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, ‘Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)’.” (Ash Shaf / 61: 6).