Dikisahkan, di sebuah rumah pertanian seorang kakek bersama cucunya sedang duduk di beranda. Tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti dan seseorang menanyakan arah menuju ke kota terdekat. Setelah berbasa-basi, lelaki asing itu bertanya, “Katakan tuan, orang macam apakah yang tinggal di sekitar sini?” “Mengapa engkau bertanya demikian?” Jawab orang tua itu. Setelah mendekat beberapa langkah, orang asing itu berkata, “Saya baru saja meninggalkan kota yang masyarakatnya adalah sekelompok orang sombong. Saya belum pernah bertemu dengan orang-orang yang kurang bersahabat seperti itu dalam hidup saya.” Orang asing itu melanjutkan, “Saya tinggal di kota itu lebih dari setahun tapi tidak pernah sekalipun saya merasa menjadi bagian dari masyarakat itu.” “Saya kira seperti itu pula keadaan yang akan engkau temui pada masyarakat di sini,” jawab lelaki tua itu. Dan orang asing itu mengucapkan selamat tinggal sambil berlalu. Cucunya terheran-heran atas apa yang baru didengarnya.
Tak berapa lama, mobil lain berhenti di depan rumah pertanian itu. Turunlah seseorang yang lagi-lagi menanyakan arah kota yang sama. Setelah mendapatkan informasi yang diperlukan, orang asing itu juga bertanya, “Bolehkah saya tahu, bagaimana keadaan orang-orang di daerah ini?” Sekali lagi orang sepuh itu pun bertanya balik, “Mengapa engkau bertanya demikian?” Kemudian orang asing itu berkata, “Tahukah Anda, saya tinggal di sebuah kota kecil yang sangat indah. Masyarakatnya membuat saya sangat betah tinggal di sana. Orang-orangnya sangat baik dan sangat penolong. Saya merasa berat untuk meninggalkan kota itu karena saya harus bertugas di daerah baru ini.”
Laki-laki tua itu tersenyum sembari berkata, “Di sini, engkau akan menemukan orang-orang yang sama baiknya dengan orang-orang di tempat yang kau tinggali dulu.” Orang asing itu pun berlalu. Tinggal sang cucu terheran atas apa yang baru saja didengarnya. Dan ia pun bertanya, “Kakek, mengapa memberi jawaban berbeda kepada dua orang asing itu untuk pertanyaan yang sama?” Sambil menepuk-nepuk bahu cucunya, sang kakek menjawab, “Sikap orang terhadap masyarakatlah yang menentukan bagaimana masyarakat bersikap terhadap mereka. Karena sesungguhnya orang-orang di seluruh dunia ini sama baiknya, sebab masyarakat adalah cermin yang memantulkan sikap kita pada mereka.”
Cermin itu adalah kita anakku. Apa yang kalian lihat pada orang lain, adalah cermin dirimu. Apa yang engkau rasa adalah pantulan dirimu. Karena apa yang pernah engkau alami terhadap perilaku seseorang, pernah terjadi pada orang yang engkau temui. Baik dan buruk seseorang adalah baik dan burukmu. Itulah hakekat manusia. Namun seberapa baik dan buruk itu tergantung masing-masing, bagaimana ia mau belajar. Agar kebaikan lebih dominan atas keburukannya. Agar keburukannya tidak melebihi kebaikannya. Di situlah yang membedakan satu dengan yang lainnya. Seperti yang pernah Rasulullah ﷺ sampaikan, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang (paling bisa) diharapkan kebaikannya dan (paling sedikit) keburukannya, hingga orang lain merasa aman.” (HR. Tirmidzi).
Pada hakekatnya, setiap orang memiliki sisi baik dan buruk. Orang terbaik adalah orang yang sisi kebaikannya jauh lebih besar dari sisi keburukannya. Sampai orang lain merasa aman di sampingnya. Dengan kata lain, orang terbaik adalah orang yang dalam satu sisi dapat memberikan manfaat pada orang lain dan di sisi lain mampu mengendalikan keburukannya sehingga menghasilkan ketenangan bagi yang berada di dekatnya. Untuk itu, raba diri kalian anakku. Jangan-jangan keberadaan kita tidak begitu baik di mata orang-orang sekeliling karena keburukan yang kita timbulkan. Keburukan-keburukan yang kita lempar kepada orang lain yang sejatinya berasal dari keburukan kita. Karena kita adalah cermin itu sendiri. Seberapa kita menjadi manfaat dan seberapa kita menjadi mudhorot bagi orang lain, adalah tergantung seberapa besar kebaikan kita mendominasi keburukan yang ada. Rasulullah ﷺ menggambarkan tentang cermin diri yang sangat mewakili dari zaman ke zaman: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lainnya).”
Namun tidak jarang anakku, beberapa orang melakukan kebaikan hanya untuk mendapatkan pengakuan bahwa ia baik. Berhati-hatilah engkau akan urusan penting ini. Karena baik saja tidak cukup. Karena masih ada rentetan dan tantangan agar baik itu berbuah pahala. Agar cermin dirimu bersih dari coretan yang sengaja dan tidak sengaja engkau lakukan. Agar cermin dirimu betul-betul manfaat untuk orang lain sebagaimana Rasulullah ﷺ tauladankan.
Suatu hari Umar bin Khatab mengawasi Abu Bakar. Sesuatu telah menarik perhatian Umar. Setiap selesai sholat subuh, Abu Bakar pergi ke pinggiran kota Madinah untuk mendatangi sebuah gubuk kecil beberapa saat, lalu pulang kembali ke rumahnya. Umar tidak mengetahui apa yang ada di dalam gubuk itu dan apa yang dilakukan Abu Bakar di sana. Umar mengetahui segala kebaikan yang dilakukan Abu Bakar kecuali rahasia gubuk tersebut.
Hari-hari terus berjalan. Abu Bakar tetap mengunjungi gubuk kecil di pinggiran kota Madinah itu. Umar masih belum mengetahui apa yang dilakukan Abu Bakar di sana. Sampai akhirnya Umar memutuskan untuk masuk ke dalam gubuk itu sesaat setelah Abu Bakar meninggalkannya. Umar ingin mengetahui dengan mata kepala sendiri apa yang dilakukan sahabatnya di situ. Manakala Umar masuk ke dalam gubuk kecil itu, Umar mendapati seorang nenek yang lemah dan buta. Tidak ada sesuatu pun di dalam gubuk kecil itu. Umar tercengang dengan apa yang dilihatnya. Ia pun bertanya kepada nenek itu, “Apa yang dilakukan laki-laki itu di sini?” Nenek itu menjawab, “Demi Allah, aku tidak mengetahui siapa dia. Setiap hari dia datang, membersihkan rumahku dan menyiapkan makanan untukku. Kemudian dia pergi tanpa berbicara apapun denganku.” Umar menekuk kedua lututnya dan kedua matanya basah oleh air mata. Dia mengucapkan kalimat yang masyhur, “Sungguh, engkau telah membuat lelah dan berat khalifah sesudahmu wahai Abu Bakar.”
Cukuplah kebaikan agama ini yang menjadi cermin dirimu anakku. Sehingga engkau menjadi cermin bagi yang lain. Banyak orang tidak membaca Quran dan Hadist. Namun ia bisa membaca dari cermin dirimu.
Penulis: Evie S. Zubaidi