Mendapat Kemuliaan dari Allah ﷻ
Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang yang tawadhu’ kepada Allah, pasti dimuliakan Allah” (HR. Muslim). Inilah pesan Nabi yang benar-benar kita lihat secara nyata dalam kehidupan hari ini. Betapa, semakin tawaduk seseorang, ia semakin disukai. Allah ﷻ membuat hati setiap manusia menjadi suka terhadap pribadi-pribadi tawadhu’.
Sebaliknya juga demikian. Manakala terdapat sifat sombong pada diri seseorang, ia pasti tidak disukai orang lain dan kedudukannya jatuh di mata orang-orang.
Maka di hadapan kita ada dua pilihan. Merendahkan hati sehingga kita ditinggikan kedudukan, atau meninggikan hati sehingga kita direndahkan kedudukan.
Mendapat Surga Tertinggi
Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa yang tawadhu’ satu derajat kepada Allah ﷻ, Allah ﷻ angkat ia satu derajat hingga mencapai Surga yang tertinggi. Sebaliknya, siapa yang sombong satu derajat kepada Allah ﷻ, Allah ﷻ rendahkan ia satu derajat hingga mencapai Neraka terbawah.” (HR. Ahmad)
Betapa tinggi kedudukan mukmin yang tawadhu. Allah ﷻ menjaminkan untuknya Surga tertinggi disebabkan ketawadhu’annya. Sebaliknya, bertapa buruk kedudukan orang yang sombong. Mari kita tanyakan pada diri sendiri. Berada digolongan manakah kita? Apapun jawabannya, bukankah kita sangat menginginkan Surga? Dan Tawadhu dapat menghantarkan kita ke sana, sedang sombong akan menghalangi kita ke Surga bahkan jatuh ke Neraka.
Perintah Allah ﷻ dan RasulNya
Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ sehingga seseorang tidak boleh berlaku congkak atas orang lain dan tidak boleh berlaku aniaya.” (HR. Abu Dawud)
Peringatan Rasulullah ﷺ tersebut sudah sangat jelas. Tinggal pada diri kita, butuh kerelaan untuk melakukan muhasabah dan mengevaluasi cara kita bergaul dengan orang lain selama ini.
Tanah Adalah Jalan Terdekat Menuju Langit
Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah berfirman, ‘siapa yang bersikap tawadhu kepadaKU seperti ini (Rasulullah menunjuk tanah dengan bagian dalam telapak tangannya dan menjatuhkannya ke tanah) maka Aku akan meninggikannya seperti ini (beliau membalikkan telapak tangannya tinggi-tinggi menuju langit)” (HR. Ahmad).
Ketika kita kian bersikap tawadhu kepada Allah ﷻ dalam hidup bermasyarakat, pada saat itulah kita semakin dimuliakan Allah ﷻ. Perhatikan sekali lagi dua perumpamaan di atas. Makin diri ini menempel ke tanah kerendahan, makin naiklah kita ke langit kemuliaan.
Bukan sebuah kebetulan juga, bila Rasulullah ﷺ dalam sabdanya yang lain mengatakan, jarak terdekat seorang hamba dengan Rabbnya adalah saat bersujud. Posisi sujud adalah posisi merendahkan diri. Kepala yang menjadi tempat berfikir dan sumber kecerdasan, direndahkan serendah-rendahnya menjadi sejajar dengan telapak kaki. Namun, disaat seperti inilah Allah ta’ala mendekat dengan sangat dekat kepada hambaNya.
Tidak Masuk Surga yang Hatinya ada Sombong
Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak masuk Surga orang yang hatinya memendam kesombongan walau seberat atom” (HR, Muslim). Dalam riwayat lainnya, “Tidak masuk Surga orang yang dalam hatinya terbetik kesombongan meski seberat biji sawi.”
Maka tak perlu menjadi sombong seperti Namrudz, yang mengejek Ibrahim dengan berkata, “Aku juga bisa menghidupkan dan mematikan manusia,” lalu dia memanggil dua orang, yang satu ia bunuh, satu lagi ia biarkan hidup. Tak perlu juga menjadi Firaun, yang mengaku sebagai Tuhan. Untuk diharamkan dari Surga, tak perlu menjadi seperti keduanya. Karena Rasulullah hanya mensyaratkan sebiji sawi kesombongan, sudah menghalangi seseorang dari Surga.
Adakah kita mendustakan kebenaran? Adakah kita merendahkan orang lain?
Apakah Engkau Hendak Menyaingi Allah ﷻ?
Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah ﷻ berfirman, “Kesombongan adalah pakaianKu dan kemuliaan adalah jubahKu. Siapa yang mau menyaingiKu dalam keduanya, pasti Aku siksa.” (HR.Ahmad)
Bertawaduklah kepada Allah. Jangan menyaingi kebesaranNya. Tidakkah kita menginginkan Allah ﷻ memberikan karunia Surga?
Perhatikan Wasiat Luqman
Allah ﷻ berfirman dalam wasiat Luqman kepada anaknya, “Jangan engkau memalingkan muka (tushair) dari manusia dan jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh” (QS. Luqman : 18).
Apa makna Tusha’ir? Ia berasal dari kata shi’ir. Yaitu sejenis penyakit yang menimpa leher unta sehingga ia tidak bisa menggerakkan lehernya. Ia pun berjalan dengan leher mendongak ke atas.
Perhatikan perumpaan dari Al-Quran yang sangat menarik tersebut. Al-Quran menyamakan orang-orang yang sombong, dengan ciri gestur tubuhnya yang khas, dengan unta yang berpenyakit shi’ir. Mendangak kepala ke atas, sulit menunduk. Kalau unta, karena lehernya yang sakit, kalau manusia karena hatinya yang berpenyakit.