Gempa megathrust belakangan tengah menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh masyarakat luas. Di Jawa Timur, ancaman gempa megathrust itu memang ada. Oleh karena itu diperlukan persiapan yang matang sebagai mitigasi jika sewaktu-waktu gempa terjadi.
Sebagai upaya edukasi masyarakat terkait adanya potensi gempa megathrust di Jawa Timur, pada hari Senin, 30 September 2024 diselenggarakan diskusi via zoom dengan tema “Peran Relawan dan Masyarakat dalam Menghadapi Ancama Gempa Megathrust di Jawa Timur”.
Diskusi yang digagas Nurul Hayat dengan tajuk NH Talks ini dihadiri oleh Gatot Soebroto, S.E., M.PSDM (Kalaksa BPBD Jawa Timur), Dr. Ir. Amien Widodo, M.si (Dosen Geofisika FTSP ITS), Rozikan, S. Kom PMG Madya (BMKG Stasiun Geofisika Pasuruan), Rachmad Subekti Kimiawan (Koordinator SRPB Jawa Timur) Anjik Setiawan (Manajer Program LAZNAS Nurul Hayat) dan Dini Prasetyo, S.Kep., Ns., M.Kep selaku moderator.
Dr. Amien Widodo, dalam pemaparannya menyampaikan bahwa soal gempa megathrust ini sebenarnya penelitiannya sudah dilakukan sejak lama yakni sejak tahun 2012 dan 2017. Kemudian ada juga kajian-kajian yang sudah dilakukan kemudian dipublikasikan.
Terkait meminimalisir risiko ancaman dari bencana gempa, Dr. Amien Widodo menyampaikan bahwa hal tersebut harus dilakukan bersama-sama. “Untuk meminimalisir risiko harus kita lakukan bersama-sama. Mungkin masih ada di antara kita yang tidak tahu atau tidak mau tahu sehingga risiko bencana ini terjadi berulang-ulang. Bencana gempa ini dampaknya meluas. Oleh karena itu kita harus berupaya untuk berubah. Untuk mau lebih tahu. Agar di generasi berikutnya risikonya tidak berulang,” tuturnya.
Sementara itu Rozikan, S. Kom PMG Madya, dalam paparannya menyampaikan beberapa hal terkait gempa megathrust. Termasuk di antaranya adalah tentang zona megathrust. “Zona megatrhust adalah, 1) istilah untuk menyebut sumber gempa di zona subduksi lempeng. 2) lajur subduksi yang kedalamannya dangkal kurang dari 50 Km. 3) lajur subduksi landai (dan lajur subdiksi menukik disebut Zona Benioff). 4) Zona subduksi ini dianalogikan sebagai ‘patahan naik yang besar’ sehingga disebut zona megathrust,” ungkapnya.
Pada penghujung pemaparannya Rozikan menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai mitigasi yaitu: Penerapan tata ruang dan standar bangunan tahan gempa dan tsunami dengan ketat dengan Peta Mikrozonasi (PGA) dan peta bahaya tsunami. Audit kelayakan konstruksi bangunan dan infrastruktur. Menyiapkan jalur dan sarana prasarana evakuasi. Penguatan sistem informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami. Edukasi, literasi dan advokasi untuk membangun budaya mitigasi. Latihan kesiapan evakuasi mandiri dan kolektif. Riset, kajian dan pengembangan teknologi. Serta monitoring, evaluasi dan penyempurnaan menerus terhadap sistem mitigasi.
Sebagai penyampai terakhir dalam diskusi ini adalah Rachmad Subekti Kimiawan. Dalam pemaparannya, salah satu yang disampaikan adalah sebab-sebab korban bencana selamat dalam durasi “golden time” berdasarkan penelitian dan hasil survey Great Hansin Earthquake 1995 di Jepang. “Berdasarkan hasil penelitian dan survey ini disebutkan beberapa sebab korban bencana gempa selamat yaitu: Kesiapsiagaan diri sendiri (34,9%), dukungan keluarga (31,9%), dukungan teman/tetangga (28,1%), dukungan orang sekitar (2,6%), dukungan tim penolong (1,7%), lain-lain (0,9%).”