Awal bulan, blusukan ke pelosok desa untuk menyambangi rumah seorang guru ngaji di wilayah barat Bumi Mliwis Putih. Guru ngaji ini adalah sosok yang luar biasa. Beliau merelakan rumah sederhananya sebagai tempat mengaji Al-Quran bagi 80-100-an santri. Ruang tamunya disulap jadi kelas. Perabotan seperti meja dan kursi tamu, diganti meja dampar kayu triplek, untuk ngaji santri. Dinding rumah yang lumrah diisi foto keluarga atau lukisan, diganti papan belajar, bertuliskan pelajaran-pelajaran harian. Para santri yang merupakan tetangga dan bahkan dari kampung desa sebelah, ngaji secara sukarela, tanpa dipungut biaya.
Pak guru mengaku apa yang ia tekuni itu, bukanlah sesuatu yang ia rencanakan sejak awal. Beliau mengaku “terdampar” di desa itu. Setelah menikah beliau ikut sang istri hidup di sebuah desa yang terbilang pelosok. Yang tempat mengajinya masih sedikit. Keadaan tersebut membuatnya merasa tertantang. Jiwa santrinya berkobar. Ingin menyalakan pelita ilmu untuk warga desanya. Mengaji, mengajar bahkan juga keliling ke beberapa majelis di luar desanya.
Dalam menjalankan aktivitasnya tersebut, Pak Guru, tak jarang harus menghadapi beberapa tantangan. Di samping tantangan alam, yaitu jalan bebatuan khas pedesaan, sulitnya sumber air bersih juga menjadi tantangan terberat. Bertahun-tahun dipikirkan cara untuk mengatasi persoalan ini. Namun belum ditemukan solusi bagaimana memenuhi kebutuhan air untuk kebutuhan rumah tangga, sanitasi masjid dan musholla, karena hampir satu lokasi desa krisis air terutama di musim kemarau ini.
Kami ditunjukkan fakta, mulai di pekarangan rumahnya, dan rata-rata di pemukiman warga, paralon putih semrawut menuju sumber air di luar desa. Benar saja, kami telusuri jalanan, lewat jembatan geladak kayu, tadinya sempat berpikir di situ pasti sumber airnya. Dekat sungai. Namun ternyata salah.
Yang kami lihat justru paralon putih itu semakin semrawut bergelantungan di sisi kiri dan kanan jembatan. Terus saja kami ikuti arah paralon putih itu. Kemudian mulai terlihat sumur-sumur kecil yang menjadi sumber air bersih bagi warga sekitar. Sumur-sumur itu, kalau dihitung jumlahnya puluhan. “Kenapa tidak jadi satu titik saja?” Tanya kami penasaran. Jawabnya, tidak bisa karena sumbernya kecil sekali. Hanya cukup untuk kebutuhan satu keluarga. Jika satu kampung membuat sumur sendiri-sendiri, bisa dibayangkan berapa banyak jumlahnya. Bisa semakin semrawut jalan desa ini dipenuhi paralon-paralon putih.
Kebetulan, ketika kami melanjutkan blusukan, kami bertemu warga yang sedang menyiapkan peresmian jembatan desa dalam momentum peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-76. Ketika kami ngobrol-ngobrol soal kekeringan desa, ia nyeletuk, “Zaman saya masuk pertama kali di desa ini, malam pengantin baru, bukannya bersama istri tapi malah berada di belik kali. Terbayang bukan, betapa repotnya pengantin baru di desa ini. Hehe…”
Demikianlah cerita dan fakta dari guru ngaji yang mengajak blusukan siang itu. Beliau ingin sekali punya sumur bor yang bisa mencukupi kebutuhan air di desanya. Apalagi Pak Guru juga punya kepentingan untuk kebutuhan santrinya. Terlebih jika jumlah santrinya semakin banyak. Dan kini sudah ada santri yang mulai mukim di rumahnya. Yaitu anak yatim mondok dari kampung sebelah. Untuk tiga santri mukimnya itu, Pak Guru merelakan teras rumahnya dijadikan kamar.
Mari bantu Pak Guru dan warga desanya mendapatkan sumber air bersih dengan membuat sumur bor. Agar warga desanya dapat memenuhi kebutuhan air bersih. Juga agar para santri di rumah Pak Guru bisa belajar dan beribadah dengan nyaman.