Jangan Lupa Isi Hatimu

Jangan Lupa Isi Hatimu

OLEH: EVIE  SILFIA  ZUBAIDI

Dalam kitab Fawaaidul Fawaai, Imam Ibnul Qaayyim Al-Jauziyah menyebutkan bahwa setidaknya ada empat pilar kekufuran yang kadang bercokol di dalam diri manusia. Keempat pilar tersebut adalah sifat sombongdengkimarah dan syahwat.

1. Kesombongan akan menghalangi seorang hamba untuk bersikap tunduk dan patuh.

2. Kedengkian akan menghalangi seorang hamba untuk menerima nasihat, apalagi melaksanakannya.

3. Kemarahan akan menghalangi seorang hamba untuk berlaku adil.

4. Syahwat akan menghalangi seorang hamba untuk tekun dalam beribadah.

Selanjutnya beliau berkata, “Sungguh melenyapkan gunung dari tempatnya lebih mudah daripada melenyapkan keempat pilar kekufuran tersebut dari dalam diri seseorang. Bila keempat hal tersebut telah bercokol dalam hatinya, maka amalannya tidak ada lagi yang benar dan jiwanya pun tidak akan pernah bersih.”

Untuk itu jangan lupa isi hatimu. Dengan apa?

Dengan mengenal Allah ﷻ. Karena Allah ﷻ adalah sumber kebaikan dan motivasi terbaik untuk melakukan kebaikan. Dan kebaikan itulah yang akan menghadirkan iman dalam hatimu.

Karena mencintai iman dan menjadikan keimanan di dalam hati merupakan puncak keimanan.

Karena bagi orang yang beriman, mencintai kebaikan dan membenci kejahatan merupakan satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Orang yang beriman tidak bisa mencintai kebenaran sekaligus kejahatan.

Demikian pula sebaliknya, orang beriman tidak bisa membenci kekufuran sekaligus mencintai keimanan. Untuk itu jangan lupa isi hatimu. Sebagaimana

Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya kebaikan itu mendatangkan ketenangan, sedang kejelekan itu senantiasa memunculkan kegelisahan.”  (HR. Al Hakim).

Untuk itu anakku, jangan lupa isi hatimu. Dengan kebesaran Allah ﷻ. Karena kotornya hati tidak lebih dari tidak mengenal Allah ﷻ. Karena rusaknya hati, bersebab tidak mengetahui tentang perjalanan iman.

Mari kita perlahan memaknai kejahatan-kejahatan hati. Bahwa kemarahan itu tak ubahnya seperti binatang buas, yang apabila dilepaskan oleh pemiliknya, niscaya ia akan menerkam dirinya.  Syahwat itu tak ubahnya api, bila api itu dinyalakan, niscaya akan membakar dirinya. Kesombongan itu, layaknya seorang yang berhasil merebut kerajaan kita, yang jika tidak membinasakan kita, ia pasti akan mengusir kita dari kerajaan kita sendiri. Adapun kedengkian, sifat ini diibaratkan dengan memusuhi orang yang lebih mumpuni atau ahli daripada kita.

Untuk itu anakku, jangan lupa isi hatimu dengan mengenal Allah ﷻ sampai tumbuh kokoh imanmu. Sampai bersih hatimu. Sampai engkau menyukai kebaikan dan membenci keburukan.

Kebaikan adalah akhlak terpuji, sedangkan dosa adalah apa yang meresahkan jiwa dan kamu tidak suka bila dilihat orang lain.” (HR. Muslim).

“Tanyakan pada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa yang membuat jiwa dan hatimu tentram, sedangkan dosa adalah apa yang membuat jiwa dan hatimu gelisah meskipun orang lain berulang kali membenarkanmu.” (HR. Ahmad).

Dikisahkan, Rasulullah ﷺ sedang duduk-duduk bersama sahabat-sahabatnya. Beliau bersabda, “Sebentar lagi akan muncul di hadapan kalian, seorang penduduk surga.” Baru saja Rasulullah ﷺ diam dari sabdanya, tampak seorang sahabat Anshar datang. Jenggotnya masih basah terkena bekas air wudhu. Dan terlihat tangan kirinya sedang menenteng kedua sandal yang ia punya.

Keesokan harinya, Nabi Muhammad ﷺ kembali mengatakan satu hal yang sama persis, dan muncul kembali orang dengan ciri-ciri yang sama seperti kemarin. Hal yang sama persis seperti ini kembali terulang hingga pada hari ketiga. Pada hari ketiga tersebut, usai Rasulullah ﷺ berdiri meningalkan majelis, salah seorang sahabat, Abdullah bin Amir bin Al Ash membuntuti orang yang dimaksud Rasulullah ﷺ tersebut dan berkata, “Aku sedang punya masalah dengan ayahku. Dan aku berjanji untuk tidak masuk rumahnya selama tiga hari. Bolehkah aku menginap di rumahmu sampai tiga hari?” “Ya, silakan,” jawab lelaki yang Rasulullah ﷺ pastikan akan masuk surga itu.

Abdullah bin Amr bin al Ash kemudian menginap di rumah lelaki tersebut selama tiga hari. Ia menyebutkan, “Tidak ada yang istimewa dari lelaki itu. Hanya saja, aku tidak pernah mendengarnya mengatakan apapun kecuali dengan ucapan yang baik.” Maka ia pun berterus terang kepada laki-laki Anshar itu, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya antara aku dan ayahku tidak ada masalah. Tapi aku mendengar Rasulullah ﷺ mengatakan hingga tiga kali, ‘Akan muncul di hadapan kalian seorang penduduk surga.’ Lantas engkaulah yang tiba-tiba datang.

Hal itu yang mendorongku untuk menginap di rumahmu supaya aku bisa melihat dan meniru amalmu. Namun aku justru tidak melihatmu melakukan banyak amal. Sebenarnya amalan apa yang yang mengantarmu, hingga pada derajat sebagai mana sabda Nabi ﷺ bahwa engkau min ahlil jannah?”

Lelaki itu berkata, “Amalanku hanyalah yang engkau lihat, hanya saja aku tidak menemukan perasaan dengki dalam hatiku kepada seorang muslim pun dan aku tidak pernah hasad kepada seorangpun atas kebaikan yang Allah ﷻ berikan kepadanya.”Mendapat jawaban ini, Abdullah menimpali, “Inilah amalan yang mengantarkan engkau menjadi penduduk surga. Dan inilah yang kami tidak mampu.”

NH Zakat Kita

Percaya Itu Perlu Kerja Keras

Percaya Itu Perlu Kerja Keras

Oleh Evie Silfia Zubaidi tentang Percaya Itu Perlu Kerja Keras

Suatu hari, Nabi Sulaiman sedang berjalan-jalan. Lalu beliau melihat seekor semut sedang berjalan sembari mengangkat sebutir kurma. Nabi Sulaiman pun terus mengamati semut tersebut. Kemudian beliau memanggil semut itu sembari bertanya, “Hai semut kecil, untuk apa kurma yang kau bawa itu?” Si semut menjawab, “Ini adalah kurma yang Allah berikan kepadaku sebagai makananku selama satu tahun,” demikian semut itu berkata dengan lugas.

Nabi Sulaiman kemudian mengambil sebuah botol dan berkata kepada si semut, “Wahai semut,  kemarilah! Masuklah ke dalam botol ini, aku akan memberimu satu butir kurma untuk makananmu selama satu tahun. Dan tahun depan, akan akan datang kembali untuk melihat keadaanmu.”

Si semut taat pada perintah Nabi Sulaiman, karena beliau adalah penguasa saat itu. Setahun berlalu. Sesuai janjinya, Nabi Sulaiman datang kembali untuk melihat keadaan si semut. Namun Nabi Sulaiman heran, karena melihat kurma yang ia berikan tidak banyak berkurang. Beliau pun bertanya kepada si semut, “Hai semut, mengapa engkau tidak menghabiskan kurmamu?” Kemudian si semut menyampaikan isi hatinya sebagai jawaban atas pertanyaan Nabi Sulaiman.

“Wahai Nabi Allah ﷻ, mengapa kurma ini masih tersisa banyak, karena selama ini aku hanya mengisap airnya dan aku juga banyak berpuasa. Ya Nabi Allah ﷻ, selama ini Allah ﷻ lah yang memberiku sebutir kurma setiap tahun. Namun kali ini engkau yang  memberiku kurma. Aku takut tahun depan engkau tidak memberiku kurma lagi, karena engkau bukanlah Allah Al Malik yang Maha Memberi Rezeki,” jawab

Sebuah kisah hikmah yang sangat mengoyak kesadaran. Karena selama ini kepercayaan diri ini di atas rata-rata. Menganggap setiap yang telah dikerjakan karena Allah ﷻ. Dan menganggap semua harapan tersandar hanya kepada Allah ﷻ. Padahal sesungguhnya, semua yang  tampak baik dan benar itu baru sebatas perbincangan dan status di media sosial. Baru sebatas konsep seharusnya. Selebihnya belum terlaksana. Belum bertemu caranya. Sehingga belum bisa mengaplikasikannya.

Anakku, sangat lazim kata-kata kita ini muncul, “Kerjakan karena Allah ﷻ dan berharaplah kepada Allah ﷻ. Karana kalau kau berniat dan berharap karena Allah ﷻ, tidak akan ada yang mampu mengecewakanmu.” Nasihat bijak ini sesungguhnya tidaklah mudah sebagaimana diucapkan. Bahkan amatlah sulit. Mengapa? Karena kita terbiasa bekerja bukan untuk  Allah ﷻ. Maafkan bunda, karena begitulah yang sebenarnya.

Kalau kalian tengok, begitu banyak manusia-manusia pandai, yang  menghasilkan penemuan-penemuan dan karya-karya hebat yang memberi manfaat serta sumbangsih kepada banyak manusia. Atau mungkin kita, dalam keseharian berpeluh dengan segala macam kesibukan dan kerepotan, sibuk dan merasa penting. Namun sayangnya yang terlihat baik dan bermanfaat itu bukan karena mencari ridho Allah ﷻ. Tapi hanya memenuhi kesenangan diri yang tak pernah ada habisnya.

Kalaupun ada pernyataan, semua jerih payah ini untuk keluarga, untuk anak-anak, untuk kehidupan yang lebih baik. Atau semua perjuangan ini untuk ummat, itu tidak lebih hanya bentuk dalih untuk melegalkan, bahwa bersibuk dan berjibaku dengan dunia itu adalah kepatutan. Karena sudah jamak manusia melakukan.

Keadaan itu sangat jelas digambarkan dalam Alquran, “Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (QS. Al-Kahfi (18): 103-104).

Mereka telah bekerja keras dan bersusah payah, namun usaha mereka sia-sia disebabkan tidak terkait dengan iman dan keikhlasan. Karena tujuannya salah, yang disibukkan salah, maka pengharapannya pun salah. Berharap pada dunia adalah hal yang sangat biasa. Berharap pertolongan manusia sudah menjadi kelaziman. Sehingga terlupa yang paling inti dalam kehidupan, yakni meletakkan harapan kepada  Allah ﷻ. Bahwa tidak ada daya selain karena Allah ﷻ semata.

Kita bisa bukan karena kita punya kemampuan anakku,  kita bisa bukan karena punya kepandaian. Bisa bukan pula karena kita mempunyai daya dari harta,  kedudukan dan pengaruh. Bukan. Bisa itu karena Allah ﷻ membuat itu bisa. Untuk memahamkan hal yang  sepertinya sederhana ini, ternyata perlu kerja keras.

Sejujurnya, apapun pencapaian prestasi yang sudah dihasilkan selama ini, banyak yang mengaku itu karena kemampuan diri. Padahal bukan. Kita harus pandai membedakan ikhtiar dan ketetapan Allah ﷻ. Tugas kita hanyalah ikhtiar. Sedikit dan banyak yang kita upayakan, di situlah letak kita menggantungkan diri kepada Allah ﷻ. Itulah iman.

Namun sekali lagi, untuk memahami iman ini ternyata perlu kerja keras. Perlu belajar yang sangat lama dan tidak pernah ada tamatnya. Sampai kita tahu, bahwa kita ternyata tidak bisa apa-apa kalau tidak Allah ﷻ beri kemampuan. Perlu berlatih terus menerus, sampai kita paham, bahwa kita bukan siapa-siapa sampai Allah ﷻ memuliakan kita dengan apa yang Dia beri. Ternyata menemukan iman itu memerlukan kerja keras.

Dalam sejarah, Imam Nawawi dan Imam Asy Syathibi, juga Imam Ahmad sangat luar biasa menjaga keikhlasan atas apa yang beliau kerjakan. Beliau bertiga tawaf keliling Kakbah sembari membawa kitab karangannya dan berdoa ratusan kali untuk mendapatkan ridho Allah ﷻ atas upayanya. Bahkan kata Imam Syathibi dalam karangannya “Al-Qira’at Assab’u” ia ribuan kali memikirkan keikhlasannya atas apa yang ia kerjakan. Begitulah para alim mengawali pekerjaannya.  Mereka sangat teliti menelisik hatinya, agar apa yang diupayakan semata karena Allah ﷻ, bukan yang lain.

Lalu bagaimana dengan kita anakku? Ternyata kita masih harus belajar keras untuk bisa ikhlas. Seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi penuh kantongnya dengan kerikil kecil. Memberatkanya tapi tidak bermanfaat sama sekali.”Seperti kisah semut di atas, yang berkata kepada Nabi Sulaiman, “Ya Nabi Allah ﷻ, selama ini Allah ﷻ lah yang memberiku sebutir kurma setiap tahun. Namun kali ini engkau yang memberiku kurma. Aku takut tahun depan engkau tidak memberiku kurma lagi, karena engkau bukanlah Allah Al Malik yang Maha Memberi Rezeki.”  Ternyata untuk percaya, kita perlu kerja keras, anakku.

Wallahu A’lam Bisshowab.

NH Zakat Kita

Tim Zakat Kita Resmikan Mushola Sirodjul Huda di Semarang

Tim Zakat Kita Resmikan Mushola Sirodjul Huda di Semarang

Tim Zakat Kita Resmikan Mushola Sirodjul Huda di Semarang -Tepatnya di Desa Sitiaji Kec.Sukosewu ada sebuah Mushola berbahan kayu yang usianya sudah puluhan tahun.

Karena keterbatasan ekonomi, yang rata-rata warganya petani dan buruh, mushola itu urung dipugar. Bangunan masih utuh sejak tahun 1990.

Hati ini terenyuh, melihat hampir seluruh sudut mushola, mulai dari dinding, alas yang sudah Retah dan beberapa tiang sudah lapuk dan keropos. Jika siang hari sinar matahari menerobos melalui dinding yg bolong, sementara malam udara masuk dari dinding samping.

Alhamdulillah, Mushola Sirodjul Huda yang di impikan Masyarakat Sitiaji sekarang sudah terujud Serta sudah teresmikan yang di Saksikan oleh Kepala Desa Sitiaji dan Perangkat serta masyarakat

Terimakasih Kepada Donatur Masyarakat Relawan yang Sudah ikut Berpartisipasi Mewujutkan Mushola Sirodjul Huda Desa Sitiaji, semoga perjuangan para Donatur dan Masyarakat serta relawan di catat sebagai Amal Ibadah oleh Allah .Amin.

 

Sumber Air Jadi Sumber Kebaikan

Sumber Air Jadi Sumber Kebaikan

Sumber Air Jadi Sumber Kebaikan. Program Surga Desa (Sumber Air Untuk Warga Desa) yg didukung oleh Developer Hunian Syariah, Grand Village As-Salam sudah menghasilkan laba. Laporan keuangan akhir Mei 2020 kemarin. Terbaca ada saldo senilai 8,8jt.Berada di Dusun Sumbertimo, Desa Arjosari, Kec. Kalipare Kab. Malang ini. Mulai beroperasi sejak Maret 2020. Sudah 3 bulan beroperasi. Dikelola oleh Warga yg berbasis Musholla.Jadi ketika ada sisa saldo, sepenuhnya digunakan untuk kemakmuran Musholla. Sesuai akad awal. Karena lokasi sumur berada di area Musholla. Tanahnya Musholla yg di bor.

Selain untuk Musholla. Dana juga dianggarkan untuk program sosial. Santunan anak yatim contohnya. Seperti hari ini. Pengurus mengadakan Santunan untuk 7 anak yatim. Sebesar 100rb peranak.

InsyaAlloh program sosial ini akan diadakan setiap bulan. Selain anak yatim. Juga ada sembako untuk para lansia & Dhuafa yg lain.

Pengelolaan sumber ini bernama Hippam As-Salam. Nama diambil dr Donatur utama, Yakni Grand Village As-Salam. Developer Hunian Syariah di Malang. Sumber air ini dimanfaatkan oleh. 350 rumah, 1 masjid, 9 musholla, 3 sekolah dan kantor balai desa. Alhamdulillah kemanfaatannya luar biasa.

Terima kasih kepada segenap Donatur Warga Malang. Ini sedekah jariyah njenengan. Layaknya Sumur Ustman. InsyaAlloh Pahala terus mengalir.

#SurgaDesa

#ZakatWargaMalangUntukWargaMalang

www.zakatkita.org | #SedekahDariRumah

Copyright © 2001-2023 Yayasan Yay. Nurul Hayat Surabaya