Balita versus Kita

Balita versus Kita

Oleh @nurulrahma tentang Balita versus Kita

Saya selalu takjub tiap kali melihat ponakan-ponakan saya belajar jalan. Melihat kegigihan anak sekecil itu, melihat jatuh-bangun mereka sampai akhirnya berhasil berjalan sendiri itu betul-betul pengalaman yang mengharukan!

Awalnya, saya hanya merasa amazed melihat anak sekecil itu sudah mulai berdiri, merembet, dan pelan-pelan belajar berjalan. Seperti melihat boneka lucu yang bisa jalan aja gitu. Lalu biasanya di awal, mereka akan sering jatuh-bangun. Kadang karena hilang keseimbangan, kadang karena mereka kelihatan sedang capek dan mau istirahat dulu. Kadang mereka sampai terjatuh, kadang mereka terlihat kesal dengan dirinya sendiri, kadang mereka juga sampai menangis saat jatuh dan kesakitan.

Meski demikian hebatnya, berapa kali pun mereka terjatuh, mereka akan bangkit untuk mencoba lagi dan lagi, sampai akhirnya mereka mulai bisa berjalan dan berlari kencang.

Melihat kegigihan mereka membuat saya berpikir, “Apa jadinya jika mereka kapok lalu menyerah dan enggak mau mencoba lagi?”

Dan saya juga berpikir, “Jika anak usia satu tahun saja bisa punya kegigihan seperti itu, kenapa kita yang sudah duduk di bangku SMA atau kuliah tidak bisa mempunyai kegigihan yang sama?”

Memang benar masalah kita sekarang sudah jauh lebih besar daripada sekadar belajar jalan, tapi kemampuan dan pengalaman yang kita miliki juga sudah jauh lebih banyak daripada anak usia satu tahun. Tidak seharusnya kita yang sudah dewasa ini mudah kapok saat terjatuh dan mudah menyerah begitu saja baik itu dalam hal pekerjaan maupun kehidupan pribadi.

Jika hari ini kita bisa berjalan dengan lancar, ingat bahwa hal itu adalah buah dari kegigihan kita belajar jalan saat balita dulu.

Jika dulu kita memutuskan untuk terus mencoba lagi, kenapa sekarang kita jadi lembek dengan menyerah begitu saja?

Rasa kesal, sakit, dan trauma akan selalu datang dengan sepaket dalam proses pembelajaran kita. Dari usia kanak-kanak sampai lanjut usia nanti akan tetap sama jalan ceritanya, yang berbeda hanya tingkat kesulitannya saja. Itulah sebabnya penting untuk kita bertambah kuat seiring bertambahnya usia. Kita harus bisa menjadi manusia yang lebih besar supaya kita juga sanggup menghadapi masalah yang lebih besar. Pastikan kita akan selalu cukup kuat untuk lulus dari tiap tahap ujian kehidupan.

Berapapun usia kita saat ini, ingat selalu bahwa segala hal yang terbaik dalam hidup ini memang tidak pernah mudah untuk menjalankannya. Jangan manja dan jangan mudah putus asa! Jika kita jatuh 100 kali, bangkit lagi 100 kali, lagi dan lagi dan lagi.

Yap, terkadang saya selalu berpikir, “Kayaknya saya mau menyerah aja.”“Saya mau kibarkan bendera putih aja.”

“Sepertinya, saya memang makhluk yang tiada gunanya.”

Bahkan kerap kali, saya mempertanyakan mengapa untuk hal-hal kecil, sederhana bin remeh temeh aja, saya terkadang clueless, tidak bisa mengambil keputusan secara bijak, tangkas, dan tepat!

NH Zakat Kita

Berjumpa Nabi Setiap Hari

Berjumpa Nabi Setiap Hari

Ada banyak keutamaan bersholawat. Keutamaan yang satu ini, sangat disenangi oleh para pencinta nabi ﷺ. Yaitu, menghadapnya kita kepada ruh nabi ﷺ setiap kita membaca shalawat.

Kalau orang-orang shalih yang meninggal dunia saja, ruhnya dinyatakan hidup dan bisa menyaksikan orang-orang yang hidup di dunia, apalagi para nabi. Apalagi Rasulullah ﷺ.

Rasulullah ﷺ mendapatkan tempat utama. Mendapat jalur istimewa, menjumpai ruh ummatnya. Dalam mimpi. Dan juga saat menerima shalawat dari ummatnya.

Beliau juga bersabda, “Tidaklah seseorang yang mengucapkan salam kepadaku, kecuali Allah akan mengembalikan ruhku sehingga aku bisa menjawab salam tersebut.” (HR. Abu Daud).

Ini dikuatkan oleh hadits Rasulullah ﷺ yang lain, “(Arwah) para nabi itu hidup di dalam kubur mereka, mereka itu shalat.” (HR. Al-Bazzar).

Bagaimana keadaan nabi ﷺ saat dikembalikan ruh beliau, ini adalah perkara ghaib. Terutama dalam mekanisme alam ruh. Kita tidak mengetahuinya. Allah ta’la  berfirman,  “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al Ahzab: 58).

Agar tak menjadi polemik yang kemudian mengaburkan esensi, maka makna menghadapnya kita dengan Rasulullah ﷺ, kita kembalikan saja kepada pemahaman bahwa itu diluar jangkauan akal kita. Allah ta’ala lebih tahu, tanpa kita harus melogikakan tentang bagaimananya.

Yang pasti, kita yakin dengan kabar gembira dari Rasulullah ﷺ tersebut. Bahwa kalau kita tiap pagi membiasakan membaca shalawat. Berarti kita adalah orang yang pagi harinya senantiasa “berjumpa” dengan Rasulullah ﷺ.

Kita yang hidup di waktu setelah Rasulullah ﷺ wafat, sangat merindukan perjumpaan dengan Rasulullah ﷺ. Perjumpaan di dunia, bisa terjadi melalui mimpi. Karena bermimpi berjumpa dengan Rasulullah ﷺ, adalah perjumpaan sesungguhnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihatku secara benar. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupai bentukku. Barangsiapa yang berdusta atasku secara sengaja maka ia telah mengambil tempat duduk dalam neraka.” (HR Bukhari dan Muslim).

Istimewa sekali seseorang yang Rasulullah ﷺ berkenan menjumpainya di alam mimpi. Setidaknya ia berada dalam dua keadaan. Pertama, karena ia adalah orang sholeh. Yang keshalihannya membuat ia istiqamah menjalankan sunnah nabi ﷺ. Senantiasa bersholawat kepada nabi ﷺ. Dan tentu saja sangat cinta dan merindukan nabi ﷺ. Keadaannya itu, membuat Rasulullah ﷺ berkenan hadir kepadanya dalam mimpi. Sebagai obat kerinduan bagi mereka. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Umatku yang amat sangat mencintaiku adalah manusia yang datang setelahku, salah seorang mereka berkeinginan seandainya ia dapat melihatku meskipun dengan (mengorbankan) keluarga dan hartanya.”

Sebagian lain dijumpai Rasulullah ﷺ dalam mimpinya bukan karena ia seorang yang shalih. Akan tetapi, melalui sebab mimpi berjumpa dengan Rasulullah ﷺ itulah, kelak akan menjadikan ia lebih baik. Ini mungkin tidak sebanyak kelompok pertama. Yang pasti, tidaklah nabi ﷺ hadir dalam mimpi kecuali ada manfaat yang akan diterima oleh pemilik mimpi tersebut.

Bagaimana dengan yang belum mendapat karunia mimpi bertemu Rasulullah ﷺ?

Perbanyaklah sholawat. Karena dalam bersholawat, ruh kita dan ruh Rasulullah ﷺ saling berhadapan. Bersholawatlah dengan keyakinan tersebut. Lakukanlah dengan khusyuk dan perasaan tawadhu. Karena tidaklah nabi ﷺ mengabarkan tentang dikembalikan ruhnya itu kecuali agar kita termotivasi dan berbahagia dengan sholawat.

Memang berbeda sekali dengan ketika seseorang dijumpai Rasulullah ﷺ dalam mimpi. Saat itu, kesadaran dzahir kita “mati”, sehingga ruh kita tak terhijab untuk memperhatikan perjumpaan dengan ruh Rasulullah ﷺ. Sedangkan saat kita dalam kondisi sadar (tidak tidur) justru kesadaran dzahir inilah yang menghijab kita dari Rasulullah ﷺ. Namun tidak demikian dengan Rasulullah ﷺ sendiri. Atas izin Allah ﷻ, baginda Nabi ﷺ menjawab salam ummatnya yang bersholawat kepada beliau.

Dalam riwayat Sayyidina Abu Bakar, Rasulullah ﷺ bersabda, “Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku, karena Allah Ta’ala menugaskan seorang Malaikat dikuburku. Jika salah seorang dari umatku bershalawat kepadaku, maka Malaikat tersebut berkata, ‘Hai Muhammad, sesungguhnya fulan bi

NH Zakat Kita

Percaya Itu Perlu Kerja Keras

Percaya Itu Perlu Kerja Keras

Oleh Evie Silfia Zubaidi tentang Percaya Itu Perlu Kerja Keras

Suatu hari, Nabi Sulaiman sedang berjalan-jalan. Lalu beliau melihat seekor semut sedang berjalan sembari mengangkat sebutir kurma. Nabi Sulaiman pun terus mengamati semut tersebut. Kemudian beliau memanggil semut itu sembari bertanya, “Hai semut kecil, untuk apa kurma yang kau bawa itu?” Si semut menjawab, “Ini adalah kurma yang Allah berikan kepadaku sebagai makananku selama satu tahun,” demikian semut itu berkata dengan lugas.

Nabi Sulaiman kemudian mengambil sebuah botol dan berkata kepada si semut, “Wahai semut,  kemarilah! Masuklah ke dalam botol ini, aku akan memberimu satu butir kurma untuk makananmu selama satu tahun. Dan tahun depan, akan akan datang kembali untuk melihat keadaanmu.”

Si semut taat pada perintah Nabi Sulaiman, karena beliau adalah penguasa saat itu. Setahun berlalu. Sesuai janjinya, Nabi Sulaiman datang kembali untuk melihat keadaan si semut. Namun Nabi Sulaiman heran, karena melihat kurma yang ia berikan tidak banyak berkurang. Beliau pun bertanya kepada si semut, “Hai semut, mengapa engkau tidak menghabiskan kurmamu?” Kemudian si semut menyampaikan isi hatinya sebagai jawaban atas pertanyaan Nabi Sulaiman.

“Wahai Nabi Allah ﷻ, mengapa kurma ini masih tersisa banyak, karena selama ini aku hanya mengisap airnya dan aku juga banyak berpuasa. Ya Nabi Allah ﷻ, selama ini Allah ﷻ lah yang memberiku sebutir kurma setiap tahun. Namun kali ini engkau yang  memberiku kurma. Aku takut tahun depan engkau tidak memberiku kurma lagi, karena engkau bukanlah Allah Al Malik yang Maha Memberi Rezeki,” jawab

Sebuah kisah hikmah yang sangat mengoyak kesadaran. Karena selama ini kepercayaan diri ini di atas rata-rata. Menganggap setiap yang telah dikerjakan karena Allah ﷻ. Dan menganggap semua harapan tersandar hanya kepada Allah ﷻ. Padahal sesungguhnya, semua yang  tampak baik dan benar itu baru sebatas perbincangan dan status di media sosial. Baru sebatas konsep seharusnya. Selebihnya belum terlaksana. Belum bertemu caranya. Sehingga belum bisa mengaplikasikannya.

Anakku, sangat lazim kata-kata kita ini muncul, “Kerjakan karena Allah ﷻ dan berharaplah kepada Allah ﷻ. Karana kalau kau berniat dan berharap karena Allah ﷻ, tidak akan ada yang mampu mengecewakanmu.” Nasihat bijak ini sesungguhnya tidaklah mudah sebagaimana diucapkan. Bahkan amatlah sulit. Mengapa? Karena kita terbiasa bekerja bukan untuk  Allah ﷻ. Maafkan bunda, karena begitulah yang sebenarnya.

Kalau kalian tengok, begitu banyak manusia-manusia pandai, yang  menghasilkan penemuan-penemuan dan karya-karya hebat yang memberi manfaat serta sumbangsih kepada banyak manusia. Atau mungkin kita, dalam keseharian berpeluh dengan segala macam kesibukan dan kerepotan, sibuk dan merasa penting. Namun sayangnya yang terlihat baik dan bermanfaat itu bukan karena mencari ridho Allah ﷻ. Tapi hanya memenuhi kesenangan diri yang tak pernah ada habisnya.

Kalaupun ada pernyataan, semua jerih payah ini untuk keluarga, untuk anak-anak, untuk kehidupan yang lebih baik. Atau semua perjuangan ini untuk ummat, itu tidak lebih hanya bentuk dalih untuk melegalkan, bahwa bersibuk dan berjibaku dengan dunia itu adalah kepatutan. Karena sudah jamak manusia melakukan.

Keadaan itu sangat jelas digambarkan dalam Alquran, “Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (QS. Al-Kahfi (18): 103-104).

Mereka telah bekerja keras dan bersusah payah, namun usaha mereka sia-sia disebabkan tidak terkait dengan iman dan keikhlasan. Karena tujuannya salah, yang disibukkan salah, maka pengharapannya pun salah. Berharap pada dunia adalah hal yang sangat biasa. Berharap pertolongan manusia sudah menjadi kelaziman. Sehingga terlupa yang paling inti dalam kehidupan, yakni meletakkan harapan kepada  Allah ﷻ. Bahwa tidak ada daya selain karena Allah ﷻ semata.

Kita bisa bukan karena kita punya kemampuan anakku,  kita bisa bukan karena punya kepandaian. Bisa bukan pula karena kita mempunyai daya dari harta,  kedudukan dan pengaruh. Bukan. Bisa itu karena Allah ﷻ membuat itu bisa. Untuk memahamkan hal yang  sepertinya sederhana ini, ternyata perlu kerja keras.

Sejujurnya, apapun pencapaian prestasi yang sudah dihasilkan selama ini, banyak yang mengaku itu karena kemampuan diri. Padahal bukan. Kita harus pandai membedakan ikhtiar dan ketetapan Allah ﷻ. Tugas kita hanyalah ikhtiar. Sedikit dan banyak yang kita upayakan, di situlah letak kita menggantungkan diri kepada Allah ﷻ. Itulah iman.

Namun sekali lagi, untuk memahami iman ini ternyata perlu kerja keras. Perlu belajar yang sangat lama dan tidak pernah ada tamatnya. Sampai kita tahu, bahwa kita ternyata tidak bisa apa-apa kalau tidak Allah ﷻ beri kemampuan. Perlu berlatih terus menerus, sampai kita paham, bahwa kita bukan siapa-siapa sampai Allah ﷻ memuliakan kita dengan apa yang Dia beri. Ternyata menemukan iman itu memerlukan kerja keras.

Dalam sejarah, Imam Nawawi dan Imam Asy Syathibi, juga Imam Ahmad sangat luar biasa menjaga keikhlasan atas apa yang beliau kerjakan. Beliau bertiga tawaf keliling Kakbah sembari membawa kitab karangannya dan berdoa ratusan kali untuk mendapatkan ridho Allah ﷻ atas upayanya. Bahkan kata Imam Syathibi dalam karangannya “Al-Qira’at Assab’u” ia ribuan kali memikirkan keikhlasannya atas apa yang ia kerjakan. Begitulah para alim mengawali pekerjaannya.  Mereka sangat teliti menelisik hatinya, agar apa yang diupayakan semata karena Allah ﷻ, bukan yang lain.

Lalu bagaimana dengan kita anakku? Ternyata kita masih harus belajar keras untuk bisa ikhlas. Seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi penuh kantongnya dengan kerikil kecil. Memberatkanya tapi tidak bermanfaat sama sekali.”Seperti kisah semut di atas, yang berkata kepada Nabi Sulaiman, “Ya Nabi Allah ﷻ, selama ini Allah ﷻ lah yang memberiku sebutir kurma setiap tahun. Namun kali ini engkau yang memberiku kurma. Aku takut tahun depan engkau tidak memberiku kurma lagi, karena engkau bukanlah Allah Al Malik yang Maha Memberi Rezeki.”  Ternyata untuk percaya, kita perlu kerja keras, anakku.

Wallahu A’lam Bisshowab.

NH Zakat Kita

Mendidik Anak Sejak Ia Dilahirkan

Mendidik Anak Sejak Ia Dilahirkan

Saat-saat setelah bayi dilahirkan adalah saat-saat paling membahagiakan bagi kedua orangtua. Momen kelahiran bayi khususnya bagi ibu yang melahirkan, adalah momen yang menakjubkan dan dapat memperkuat keimanan kepada Allah ﷻ. Bagaimana seorang ibu harus berjuang dengan rasa sakit yang sangat dahsyat, saat berjuang hanya Allah ﷻ yang terlintas dan hanya Allah ﷻ tempat bergantung. Kini bayi yang dinanti-nantikan telah hadir ke dunia. Menjadi babak baru bagi kedua orangtua. Nah, bagaimana orangtua memulai lembaran baru dalam kehidupan mereka sebagai pemegang amanah dari Allah ﷻ ini?

Anak Adalah Perhiasan Sekaligus Fitnah

Melihat kelucuan dan kepolosan anak, hati orangtua akan terhibur. Kelelahan seorang ibu akan terobati manakala melihat balitanya tersenyum jenaka. Kepenatan ayah akan sirna manakala sepulang kerja disambut gembira buah hatinya. Bayi terlahir dalam keadaan lemah, sehingga ketika ia mulai bisa mengangkat kepala dan tengkurap, alangkah gembira hati orangtuanya. Belum lagi jika anak tumbuh dengan baik dan menjadi anak yang shalih nan berbakti, pasti hati orangtua merasa bangga dan bahagia.

Begitulah adanya, anak memang perhiasan bagi setiap orangtua dan keluarganya. Binar mata anak-anak yang polos nan lucu bisa melelehkan setiap orang yang menatapnya. Seperti firman Allah ﷻ dalam Al Qur’an: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14).

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Akan tetapi amalan-amalan yang kekal lagi baik adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al Kahfi: 46).  Pada ayat ini disampaikan, anak adalah perhiasan, namun demikian janganlah kita terlalu mencintai anak sehingga melalaikan, bahkan melalaikan anak dari perintah-perintah Allah ﷻ, hingga akhirnya Allah ﷻ murka kepada kita.

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar.”  (Al Anfal: 28).

Ada kalanya orangtua terlalu mencintai anaknya dengan cara yang salah. Hingga akhirnya malah melalaikan anak dari perintah Allah ﷻ. Misalnya ketika waktu subuh, orangtua tidak tega membangunkan anak untuk shalat karena takut anak masih mengantuk atau air demikian dingin.

Menunaikan Hak-Hak Anak Setelah Ia Dilahirkan ke Dunia 

Menjadi orangtua adalah dambaan, dan kini impian itu telah menjadi kenyataan. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah ﷻ, mari tunaikan amanah ini dengan sebaik-baiknya, berusaha menunaikan hak-hak anak setelah ia dilahirkan.

Adapun hak-hak anak sesaat setelah dilahirkan antara lain:

  •  Mengucapkan Selamat Atas Kelahirannya

Saat seorang bayi dilahirkan, maka dianjurkan mengucapkan selamat atas kelahiran bayi tersebut. Oleh karenanya, marilah kita mengucapkan selamat kepada setiap kelahiran bayi, sebab itu membawa pengaruh positif bagi bayi maupun orangtuanya. Janganlah mencela kehamilan dan kelahiran seorang bayi, apalagi mencela seseorang yang memiliki anak banyak.  Sesungguhnya setiap kehamilan dan kelahiran itu telah ditakdirkan Allah ﷻ. Dan sesungguhnya Nabi ﷺ amat bangga dengan banyaknya jumlah umat Islam.

  • Mengumandangkan Adzan dan Iqamah

Pada saat bayi dilahirkan, seorang ayah hendaknya mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi dan iqamah di telinga kirinya. Agar suara pertama yang didengar bayi adalah kalimat-kalimat yang berisi kebesaran dan keagungan Allah ﷻ serta syahadat. Selain itu adzan juga dapat menghindarkan bayi dari gangguan setan.

  •  Mentahnik

Selanjutnya orangtua hendaknya mentahnik bayi. Tahnik adalah menggosokkan buah kurma pada langit-langit mulut bayi.

Menunaikan Hak-Hak Anak Pada Hari ke-7 Setelah Kelahirannya

Adapun hak-hak anak yang hendaknya ditunaikan orangtua pada hari ke-7 setelah kelahirannya antara lain:

Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap anak (yang lahir) tergadai oleh aqiqahnya yang disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, lalu diberi nama dan dicukur rambutnya.”

Pada hadits tersebut dijelaskan bahwa seorang bayi yang dilahirkan hendaknya di aqiqahi, diberi nama dan dicukur rambutnya pada hari ketujuh. Mengenai berapa jumlahnya, Imam Ahmad meriwayatkan dari Asma binti Yazid secara marfu’, “Aqiqah adalah hak yang mesti ditunaikan. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sepadan dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.”

  • Mencukur Rambut Anak

Pada hadits di atas disebutkan bahwa anak hendaknya dicukur rambutnya pada hari ke-7. Selanjutnya rambut anak ditimbang, lalu orangtua bersedekah dengan perak seberat rambut yang ditimbang.

  • Memberi Nama yang Baik

Hendaknya orangtua memberikan nama yang baik bagi anak. Nama yang baik bisa diambilkan dari nama nabi atau orang-orang shalih. Nama yang memiliki makna baik adalah doa bagi anak.

  • Mengkhitan

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Jabir pernah berkata, “Adalah Rasulullah ﷺ mengaqiqahi Hasan dan Husain serta mengkhitan keduanya pada hari ketujuh.” Berdasarkan hadits di atas, Hasan dan Husain telah dikhitan pada hari ke-7 setelah kelahirannya,  sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengkhitan anak. Namun tidak mengapa jika karena suatu hal khitan baru bisa dilaksanakan di kemudian hari, asalkan dilakukan sebelum anak memasuki usia baligh. Khitan hukumnya wajib bagi anak laki-laki, namun sunnah bagi anak perempuan.

  • Menyusui Anak Hingga Berusia Dua Tahun

Apa yang lebih membahagiakan selain memberikan asupan gizi terbaik bagi anak sejak ia dilahirkan dan makanan apa yang lebih baik dari ASI. Menyusui bukan hanya perkara pemenuhan gizi, menyusui lebih kepada pemenuhan jiwa bagi anak. Oleh karena ibu yang sedang menyusui bayinya diharapkan untuk menghadirkan hatinya untuk sang bayi, diawali dengan mengucapkan bismillah, menatap mata bayi dan memberikan usapan dengan penuh kasih sayang.

Bukan hanya bayi yang merasa bahagia, ibu pun akan merasakan kebahagiaan saat melakukannya. Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh. Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.

 

Copyright © 2001-2023 Yayasan Yay. Nurul Hayat Surabaya