Sabar dan Sholat

Sabar dan Sholat

Sabar dan Sholat – Dinamisnya hidup terkadang menjadi manusia sering merasakan kebahagiaan dan kesenangan. Meski begitu tentu manusia juga tak akan terlepas dengan berbagai persoalan yang menerpa kehidupan di dunia. Sakit, masalah keluarga, pekerjaan, bahkan permasalahan dalam sosial tak dapat dihindari oleh manusia untuk menjalani kehidupan yang singkat ini. Tentu berangkat dari hal tersebut. Manusia akan senantiasa memerlukan pertolongan dari Allah SWT. Sehingga Allah memerintahkan kita manusia untuk mencari pertolongan dari Allah SWT.

Dalam dua ayat surat Al Baqarah, Allah memerintahkan bagi hamba-Nya untuk meminta pertolongan dengan sabar dan shalat. Allah Ta’ala berfirman,

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ

“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu” (QS. Al Baqarah: 45).

Allah Ta’ala juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah: 153).

 

Baca Juga : Hunian Baru untuk Penyintas Semeru

Faedah ayat

Pertama. Petunjuk dan sekaligus perintah dari Allah agar seorang hamba meminta pertolongan kepada Allah dengan melakukan dua sebab ini yaitu sabar dan shalat.

Kedua. Allah dalam ayat ini memanggil khusus kepada orang-orang yang beriman, menunjukkan betapa penting perintah Allah untuk bersabar dan melaksanakan salat. Meminta pertolongan dengan sabar dan shalat adalah tuntutan dan konsekuensi keimanan seseorang.

Ketiga. Sabar adalah kunci datangnya pertolongan Allah dalam menghadapi musibah. Kesabaran mencakup tiga hal: sabar dalam taat, sabar dalam meninggalkan maksiat, dan sabar dalam menghadapi takdir buruk berupa musibah.

Keempat. Salat adalah sebab datangnya pertolongan Allah. Ibadah salat yang dimaksud adalah mencakup salat wajib dan juga berbagai salat sunah.

Kelima.  Amal ibadah akan terasa berat bagi orang yang tidak khusyu, lebih-lebih lagi ibadah salat. Yang dimaksud orang yang khusyu di sini adalah orang beriman yang benar-benar menundukkan dan merendahkan diri terhadap perintah Allah.

Keenam. Penetapan sifat ma’iyyah bagi Allah, yaitu kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya. Allah senantiasa bersama dengan orang-orang yang sabar dalam makna kebersamaan yang khusus, yaitu Allah senantiasa membantu dan memberi pertolongan kepada mereka. Ini merupakan berita gembira bagi orang-orang yang sabar.

 

Setiap hari manusia diperintahkan oleh Allah untuk mengerjakan Sholat lima waktu sehari semalam sebagai bentuk ujian Allah SWT kepada manusia apakah orang tersebut masih memiliki iman atau tidak. 

Dalam salah satu kajian Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa Sholat itu satu-satunya wasilah Ibadah yang disebutkan dalam alquran untuk langsung memohonkan kebutuhan yang langsung dirasakan oleh manusia. Bahkan sebelum manusia diminta untuk Sholat, Adi Hidayat mengukapkan dalam penjelasan ayat Al-Baqarah ayat 45-46, Allah langsung menayakan masalah yang dihadapi oleh manusia. 

“Dalam ayat itu Allah menempatkan Sholat dalam urutan ke dua. Kata Allah hai hamba ku jika kalian punya persoalan dalam hidup maka mintakan solusinya kepada ku (Allah SWT),” agar setiap orang yang memiliki masalah tidak mengurainya melalui sosial media yang hanya akan mendapatkan tanggapan yang negatif bagi manusia. Tapi kata Adi Hidayat mintalah pertolongan itu dalam sholat.

Jangan ketika dapat masalah langsung lari ke medsos. Namun, ingatlah Allah. Mintalah pertolongan pada Allah. Bagaimana? satu, dengan sabar. Terima dulu masalah itu, problematika apapun itu sebesar apapun kata Allah karena memang hanya anda yang sanggup. Mustahil Allah menurunkan ujian dan cobaan jika Allah tidak menurunkan solusi dan hikmah dari masalah itu. Apapun permasalahnnya tetap sabar dan sholat solusi terbaik.

 

Setiap Amalan Tergantung Pada Niat

Setiap Amalan Tergantung Pada Niat

Setiap Amalan Tergantung Pada Niat – Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]

 

Hadits ini menjelaskan bahwa setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan. Balasannya sangat mulia ketika seseorang berniat ikhlas karena Allah, berbeda dengan seseorang yang berniat beramal hanya karena mengejar dunia seperti karena mengejar wanita. Dalam hadits disebutkan contoh amalannya yaitu hijrah, ada yang berhijrah karena Allah dan ada yang berhijrah karena mengejar dunia.

Niat secara bahasa berarti al-qashd (keinginan). Sedangkan niat secara istilah syar’i, yang dimaksud adalah berazam (bertedak) mengerjakan suatu ibadah ikhlas karena Allah, letak niat dalam batin (hati).

Kalimat “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya”, ini dilihat dari sudut pandang al-manwi, yaitu amalan. Sedangkan kalimat “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, ini dilihat dari sudut pandang al-manwi lahu, yaitu kepada siapakah amalan tersebut ditujukan, ikhlas lillah ataukah ditujukan kepada selainnya.

Baca Juga : NH Madiun Berikan Modal untuk Koperasi Berani Jujur

Niat punya peranan penting dalam setiap ibadah termasuk dalam sedekah. Ada kisah dalam hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab yang sudah  sangat masyhur di tengah-tengah kita yaitu kitab Riyadhus Sholihin. Kisah ini berkaitan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap amalan itu tergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.

Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al Akhnas radhiyallahu ‘anhum, -ia, ayah dan kakeknya termasuk sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, di mana Ma’an berkata bahwa ayahnya yaitu Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar untuk niatan sedekah. Ayahnya meletakkan uang tersebut di sisi seseorang yang ada di masjid (maksudnya: ayahnya mewakilkan sedekah tadi para orang yang ada di masjid, -pen). Lantas Ma’an pun mengambil uang tadi, lalu ia menemui ayahnya dengan membawa uang dinar tersebut. 

Kemudian ayah Ma’an (Yazid) berkata, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan padamu.” Ma’an pun mengadukan masalah tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ

“Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.” (HR. Bukhari no. 1422).

 

Kisah di atas menceritakan bahwa ayah Ma’an (Yazid)  ingin bersedekah kepada orang fakir. Lantas datang anaknya (Ma’an) mengambil sedekah tersebut. Orang yang diwakilkan uang tersebut di masjid tidak mengetahui bahwa yang mengambil dinar tadi adalah anaknya Yazid. Kemungkinan lainnya, ia tahu bahwa anak Yazid di antara yang berhak mendapatkan sedekah tersebut. Lantas Yazid pun menyangkal dan mengatakan bahwa uang tersebut bukan untuk anaknya. Kemudian hal ini diadukan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersabda, “Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati”.

 

Ilmu Sebelum Ramadhan

Ilmu Sebelum Ramadhan

Ilmu Sebelum Ramadhan – Puasa punya keutamaan yang besar. Bulan Ramadhan pun demikian adalah bulan yang penuh kemuliaan. Maka tentu saja untuk memasuki bulan yang mulia ini dan ingin menjalani kewajiban puasa, hendaklah kita punya persiapan yang matang. Persiapan yang utama adalah persiapan ilmu. Karena orang yang beribadah pada Allah tanpa didasari ilmu, maka tentu ibadahnya bisa jadi sia-sia. Sebagaimana ketika ada yang mau bersafar ke Jakarta lalu tak tahu arah yang mesti ditempuh, tentu ia bisa ‘nyasar’ dan  tersesat. Ujuk-ujuk sampai di tujuan, bisa jadi malah ia menghilang tak tahu ke mana. Demikian pula dalam beramal, seorang muslim mestilah mempersiapkan ilmu terlebih dahulu sebelum bertindak.  

 Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Orang yang beramal tanpa ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada penuntun. Sudah dimaklumi bahwa orang yang berjalan tanpa penuntun tadi akan mendapatkan kesulitan dan sulit bisa selamat. Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut orang yang berakal, ia tetap saja tidak dipuji bahkan dapat celaan.”

Mengapa kita mesti belajar sebelum beramal? Karena menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224, dari Anas bin Malik. Hadits ini hasan karena berbagai penguatnya. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Hadits ini diriwayatkan dari beberapa sahabat di antaranya Anas bin Malik, ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Sa’id Al Khudri, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Ali bin Abi Tholib, dan Jabir. Lihat catatan kaki Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1: 69)

Ilmu sebelum ramadhan yang seperti apa? Yang utama adalah ilmu yang bisa membuat puasa kita sah, yang bila tidak dipahami bisa jadi ada kewajiban yang kita tinggalkan atau larangan yang kita terjang. Lalu dilengkapi dengan ilmu yang membuat puasa kita semakin sempurna. Juga bisa ditambahkan dengan ilmu mengenai amalan-amalan utama di bulan Ramadhan, ilmu tentang zakat, juga mengenai aktifitas sebagian kaum muslimin menjelang dan saat Idul Fitri, juga setelahnya. Semoga dengan mempelajarinya, bulan Ramadhan kita menjadi lebih berkah.

Baca Juga : Baitul Mal di Masa Rasulullah dan Sahabat

Sebagaimana datangnya orang terpenting di dunia, segala sesuatu akan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya untuk menyambut kehadiran bulan Ramadhan. Apalagi tamu yang akan datang ini banyak memberikan hadiah kebaikan bagi yang menyambutnya.

Ramadhan itu adalah bulan kesabaran. Sedangkan ketabahan dan kesabaran, balasannya adalah surga. Ramadhan adalah bulan pertolongan, pada bulan  itu rizki orang-orang mukmin ditambah. Siapa yang memberikan makanan bagi orang  yang berpuasa di bulan itu, maka ia akan diampuni dosanya, dibebaskan dari api neraka.  Orang itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tersebut. Sedangkan pahala puasa bagi orang yang melakukannya, tidak berkurang sedikitpun. Barang siapa yang meringankan beban pekerjaan orang lain, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan membebaskannya dari api neraka. Oleh karena itu dalam bulan Ramadan ini, hendaklah kamu sekalian dapat meraih empat bagian. Dua bagian pertama untuk memperoleh ridha Tuhanmu dan dua bagian lain adalah sesuatu yang kamu dambakan. Dua bagian yang pertama ialah bersaksi dengan sesungguhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan hendaklah memohon ampunan kepada-Nya. Dua bagian yang kedua yaitu kamu memohon (dimasukkan ke dalam) surga dan berlindung dari api neraka. Siapa yang memberi minuman kepada orang yang berpuasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari telagaku, suatu minuman yang seseorang tidak akan merasa haus dan dahaga lagi sesudahnya, sehingga ia masuk ke dalam surga”. 

Ibadah puasa Ramadhan merupakan amal yang istimewa, karena ibadah yang lain adalah untuk dirinya sendiri, sedangkan ibadah puasa adalah milik Allah. Dalam melaksanakan puasa diharapkan tidak hanya dapat meninggalkan makan, minum dan segala yang membatalkannya, akan tetapi harus dapat menjaga diri dari segala perbuatan yang tercela. Puasa itu diharapkan dapat membentuk sikap mental kita, menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah dan beribadah dengan penuh keikhlasan.   Dalam berpuasa, manusia muslim dibentuk agar dapat meningkatkan kesabaran, ketabahan, peningkatan daya tahan mental dan fisik. Rasa haus dan lapar dikala berpuasa, dapat meningkatkan solidaritas sosial terhadap orang-orang miskin yang ditimpa kesulitan, dan anak-anak yatim yang terlunta-lunta.

Peristiwa Isra Mikraj

Peristiwa Isra Mikraj

Peristiwa Isra Mikraj adalah mukjizat besar dan tanda kenabian yang sangat jelas. Selain itu, ini adalah kekhususan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal ini tidak pernah terjadi kepada nabi dan rasul selainnya (sebelumnya).

Peristiwa ini termasuk ayat (mukjizat) Makkiyah terjadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum hijrah. Pengamat sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat bahwa sebelum Isra dan Mikraj ada beberapa peristiwa yang menyedihkan, seperti kematian Abu Thalib yang selalu melindungi dan menolong Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi menghadapi orang-orang kafir dan kematian Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri yang setia sehingga beliau tinggal dalam kesunyian, ditambah hijrahnya sebagian sahabatnya ke negeri Habasyah berkali-kali dalam rangka menyelamatkan agamanya.

Beliau pun sempat pergi ke Thaif dalam rangka menyeru penduduknya untuk beriman, menerima Islam, dan menjadi penolong agama Allah. Namun mereka menolaknya dan menolak ajarannya. Semua kondisi yang menyulitkan ini, Allah Ta’ala memuliakannya dengan mukjizat besar dan kemuliaan yang tinggi, yaitu Isra dan Mikraj.

 

Pengertian Isra dan Mikraj

Kata “asra” seperti dalam surah Al-Isra’ ayat pertama berarti melakukan perjalanan pada malam hari. Ada yang menambahkan bahwa yang dimaksud adalah melakukan perjalanan pada awal malam, ada juga yang mengatakan pada akhir malam.

Adapun isra yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melakukan perjalanan pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.

Adapun mikraj berasal dari kata yang artinya naik. Mikraj adalah alat yang digunakan untuk naik. Sedangkan mikraj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah naik dari bumi ke langit melewati lapis langit sampai pada langit ketujuh.

 

Kapan Isra Mikraj Terjadi?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isra Mikraj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaad Al-Ma’ad, 1:57-58)

Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isra Mikraj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perawi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al-Bida’ Al-Hawliyah, hlm. 274)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isra memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadar. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isra untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isra tersebut.” (Zaad Al-Ma’ad, 1:57-58)

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafizhahullah juga menerangkan bahwa tidak ada dalil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau merayakan Isra Mikraj. Beliau juga katakan bahwa beliau tidak mengetahui dalil dari para sahabat tentang hal ini, begitu pula tidak diketahui dari imam yang empat dari imam madzhab. Juga terdapat perselisihan pendapat tentang penetapan kapan malam Isra Mikraj terjadi.

Baca Juga : Gotong Royong Bangun Musholla Nurul Huda

Peristiwa Isra Mikraj

Tentang Peristiwa Isra Mikraj, Bukhari dan Muslim meriwayatkannya dari Anas bin Malik dari Malik bin Sha’sha’ah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita kepadanya tentang malam saat beliau di-Isra-kan, beliau bersabda, 

“Ketika aku sedang berada di Hijir dalam keadaan berbaring tiba-tiba ada yang datang menghampiriku sambil berkata dan aku mendengar ucapannya yang mengatakan, ‘Bedahlah bagian sini hingga bagian sini.” Aku bertanya kepada Jarud yang berada di sampingku, ‘Apa maksudnya?’ Ia berkata, ‘Dari pangkal tenggorokan sampai bagian dadanya’ dan aku mendengarkan ia berkata dari bagian dadanya hingga pusarnya, lalu ia pun mengeluarkan hatiku, kemudian dibawakan bejana emas yang berisi iman, maka hatiku pun dicucinya, kemudian dijahit dan dikembalikan pada tempatnya semula.

Kemudian aku dibawakan seekor hewan tunggangan berwarna putih yang lebih kecil dari bighal (peranakan antara kuda dan keledai) dan lebih besar dari keledai. Jarud berkata kepadanya, ‘Itu adalah Buraq, wahai Abu Hamzah?’ Anas berkata, ‘Ya, ia meletakkan langkah kakinya di penghujung pandangan matanya. Kemudian dibawa naik di atasnya.’

Jibril berangkat bersamanya hingga sampai di langit dunia, beliau pun minta dibukakan. Seraya ditanya, ‘Siapa ini?’ Jibril menjawab, ‘Jibril.’ ‘Siapa yang bersamamu?’Jawab Jibril, ‘Muhammad.’ ‘Apakah diutus kepada-Nya?’ ‘Ya.’ Jawab Jibril. ‘Selamat datang sebaik-baiknya orang yang datang.’ Kemudian pintu pun dibuka. Setelah melewati pintu tersebut, beliau bertemu dengan Adam ‘alaihis salam. Jibril berkata, ‘Ini adalah kakekmu Adam.’ Beliau pun mengucapkan salam dan salamnya pun dibalas, lalu berkata, ‘Selamat datang putra dan Nabi yang saleh.’

Kemudian menuju langit kedua bertemu Nabi Yahya dan Isa. Menuju langit ketiga bertemu Nabi Yusuf. Menuju langit keempat bertemu Nabi Idris. Menuju langit kelima bertemu Nabi Harun. Menuju langit keenam bertemu Nabi Musa, Ketika beliau meninggalkannya, Musa ‘alaihis salam menangis. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Apa yang menyebabkan kamu menangis?’ Musa menjawab, ‘Aku menangis karena ada seorang anak yang diutus setelahku, tapi umatnya lebih banyak yang masuk surga daripada umatku.’

Dan menuju langit terakhir yaitu langit ketujuh bertemu Nabi Ibrahim. Kemudian aku dibawa ke Sidratul Muntaha yang di dalamnya terdapat pohon-pohon besar yang dedaunannya selebar telinga gajah. Seraya berkata, ‘Ini adalah Sidratul Muntaha yang memiliki empat aliran sungai, dua sungai batiniyah dan dua sungai lagi lahiriyah.’

Aku bertanya, ‘Apa yang dimaksud dua itu wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Dua sungai batiniyah berada di surga dan dua sungai lahiriyah adalah Nil dan Eufrat.’ Kemudian diangkat di hadapanku Baitul Makmur. Kemudian disuguhkan kepadaku segelas khamar, segelas susu, dan segelas madu, aku pun memilih segelas susu. Jibril berkata, ‘Itu adalah fitrah yang kamu dan umatmu berada padanya.’ Kemudian diwajibkan atasku shalat lima puluh waktu sehari semalam, aku pun kembali, lalu aku bertemu Musa ‘alaihis salam.

Ia pun bertanya, ‘Apa yang diperintahkan kepadamu?’ Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Aku diperintahkan shalat lima puluh waktu sehari semalam.’ Musa berkata, ‘Umatmu tidak akan sanggup melakukan shalat lima puluh waktu sepanjang hari. Demi Allah, aku pernah mencobanya pada manusia sebelum kamu, aku pun pernah memaksakan Bani Israil dengan serius. Kembalilah kepada Allah, mintalah keringanan bagi umatmu.’

Aku pun kembali (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk meminta keringanan) maka dikurangi sepuluh waktu. Aku pun kembali dan bertemu Musa lagi, ia pun berkata seperti semula. Begitu seterusnya sampai Aku pun kembali, Musa pun bertanya, ‘Apa yang diperintahkan kepadamu?’ Aku menjawab, ‘Aku diperintahkan shalat lima waktu setiap harinya.’ Musa pun berkata, ‘Umatmu tidak akan sanggup shalat lima waktu, aku pernah mencobanya pada manusia sebelummu dan aku pernah memaksakannya kepada Bani Israil dengan serius. Kembalilah kepada Allah mintalah keringanan lagi.’

Muhammmad shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Aku telah meminta kepada Allah hingga aku merasa malu. Akan tetapi, aku ridha dan menerimanya.’ Ketika aku meninggalkannya, terdengarlah sebuah seruan, ‘Aku telah tetapkan kewajibanku dan aku telah ringankan dari hamba-hamba-Ku.’” (HR. Bukhari, no. 3887 dan Muslim, no. 264)

Keutamaan Rendah Hati

Keutamaan Rendah Hati

Keutamaan Rendah Hati – Islam mengajarkan untuk memiliki sikap rendah hati. Nabi Muhammad SAW mengibaratkan kerendahan hati sebagai bagian dari iman seorang Muslim. Sikap rendah hati dapat membentengi manusia dari godaan dan jeratan setan. Rasulullah SAW mengatakan bahwa kerendahan hati dapat menjadi pengingat manusia akan kekuasaan Allah SWT, tidak mudah terlena dengan kenikmatan duniawi, juga terhindar dari sikap sombong. 

 

وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ ٱلْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ ٱلْجِبَالَ طُولًا

Artinya: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. Al Isra: 37)

Ahmad Kusaeri dalam bukunya, aqidah akhlaq, menjelaskan, ciri-ciri orang yang rendah hati adalah tidak sombong atau takabur, mensyukuri kelebihan yang dimiliki, bersikap santun dan peduli pada semua orang, tidak suka berbuat riya, menerima segala nasihat, mudah bergaul, dan tidak membeda-bedakan dalam bergaul. 

Baca Juga : Adab Menjenguk Orang Sakit

Adapun keutamaan rendah hari adalah, selain mendapat pahala dan rahmat dari Allah SWT, juga dapat disenangi oleh banyak orang dan terhindar dari kebencian dan dendam, dan senantiasa bersyukur. Langkah awal yang dapat dilakukan untuk memupuk sikap rendah hati dalam diri adalah dengan menyadari bahwa segala yang dimiliki tak lain adalah milik dan pemberian Allah SWT yang perlu disyukuri. 

Seseorang yang memiliki sikap tawadhu akan merasa lebih bahagia. Sikap rendah hati membuat hati selalu tenang dan jauh dari gelisah. Dengan percaya diri dan berpikir positif, kegelisahan akan dengan mudah diatasi. Orang yang selalu rendah hati akan lebih bisa mengontrol emosinya dan tidak berlebihan terhadap suatu hal.

Mulailah menerapkan sikap rendah hati di lingkungan terdekat, seperti pada orang tua, adik-kakak, dan teman-teman terdekat. Selain itu, menarik diri dari pergaulan yang kurang baik juga perlu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang tak diharapkan. 

Dari Abu Hurairah, berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim).

 

Meneladani Akhlak Nabi Ibrahim

Meneladani Akhlak Nabi Ibrahim

Meneladani Akhlak Nabi Ibrahim Ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam Kholilullah (kekasih Allah)-. Di antara kisah beliau adalah ketika beliau didatangi para malaikat yang akan diutus untuk membinasakan kaum Luth. Para malaikat tersebut terlebih dahulu mendatangi Ibrahim dan istrinya, Sarah untuk memberi kabar gembira akan kelahiran anak mereka yang ‘alim yaitu Nabi Allah Ishaq ‘alaihis salam. Kisah tersebut disebutkan dalam ayat berikut ini :

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ (24) إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (25) فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ (26) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ (27) فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ (28) فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ (29) قَالُوا كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (30)

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaama”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.  Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).” (QS. Adz Dzariyat: 24-30)

 

Menjawab Salam dengan Yang Lebih Baik

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala benar-benar memuji kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihis salam. Para malaikat sebagai tamu tadi, ketika masuk ke rumah beliau, mereka memberikan penghormatan dengan ucapan, “Salaaman”. Aslinya, kalimat ini berasal dari kalimat, “Sallamnaa ‘alaika salaaman (kami mendoakan keselamatan padamu)”. Namun lihatlah bagaimana jawaban Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam terhadap salam mereka. Ibrahim menjawab, “Salaamun”. Maksud salam beliau ini adalah “salaamun daaim ‘alaikum (keselamatan yang langgeng untuk kalian)”. Para ulama mengatakan bahwa balasan salam Ibrahim itu lebih baik dan lebih sempurna daripada salam para malaikat tadi. Karena Ibrahim menggunakan jumlah ismiyyah (kalimat yang diawali dengan kata benda) sedangkan para malaikat tadi menggunakan jumlah fi’liyah (kalimat yang diawali dengan kata kerja). Menurut ulama balaghoh, jumlah ismiyyah mengandung makna langgeng dan terus menerus, sedangkan jumlah fi’liyah hanya mengandung makna terbaharui. Artinya di sini, balasan salam Ibrahim lebih baik karena beliau mendoakan keselamatan yang terus menerus. Inilah contoh akhlaq yang mulia dari Nabi Allah Ibrahim ‘alaihis salam. Kita bisa mengambil pelajaran dari sini bahwa hendaklah kita selalu menjawab ucapan salam dari saudara kita dengan balasan yang lebih baik. Sebagaimana Allah Ta’ala pun telah memerintahkan kita seperti itu dalam ayat,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86)

Bentuk membalas salam di sini boleh dengan yang semisal atau yang lebih baik, dan tidak boleh lebih rendah dari ucapan salamnya tadi. Contohnya di sini adalah jika saudara kita memberi salam: “Assalaamu ‘alaikum”, maka minimal kita jawab: “Wa’laikumus salam”. Atau lebih lengkap lagi dan ini lebih baik, kita jawab dengan: “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah”, atau kita tambahkan lagi: “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barokatuh”. Bentuk lainnya adalah jika kita diberi salam dengan suara yang jelas, maka hendaklah kita jawab dengan suara yang jelas, dan tidak boleh dibalas hanya dengan lirih. Begitu juga jika saudara kita memberi salam dengan tersenyum dan menghadapkan wajahnya pada kita, maka hendaklah kita balas salam tersebut sambil tersenyum (bukan cemberut) dan menghadapkan wajah padanya. Inilah di antara bentuk membalas salam dengan yang lebih baik.

Baca Juga : Berbagi Kemanfaatan Kepada Ibu-Ibu Tukang Sapu

Memuliakan Tamu

Dalam cerita Ibrahim ini juga terdapat pelajaran yang cukup berharga yaitu akhlaq memuliakan tamu. Lihatlah bagaimana pelayanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk tamunya. Ada tiga hal yang istimewa dari penyajian beliau:

Beliau melayani tamunya sendiri tanpa mengutus pembantu atau yang lainnya.

Beliau menyajikan makanan kambing yang utuh dan bukan beliau beri pahanya atau sebagian saja.

Beliau pun memilih daging dari kambing yang gemuk. Ini menunjukkan bahwa beliau melayani tamunya dengan harta yang sangat berharga.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bagaimana sebaiknya kita melayani tamu-tamu kita yaitu dengan pelayanan dan penyajian makanan yang istimewa. Memuliakan dan menjamu tamu inilah ajaran Nabi Ibrahim, sekaligus pula ajaran Nabi kita Muhammad ‘alaihimush sholaatu wa salaam. ‘Abdullah bin ‘Amr dan ‘Abdullah bin Al Harits bin Jaz’i mengatakan, “Barangsiapa yang tidak memuliakan tamunya, maka ia bukan pengikut Muhammad dan bukan pula pengikut Ibrahim” (Lihat Jaami’ul wal Hikam, hal. 170). Begitu pula dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47, dari Abu Hurairah)

Seseorang dianjurkan menjamu tamunya dengan penuh perhatian selama sehari semalam dan sesuai kemampuan selama tiga hari, sedangkan bila lebih dari itu dinilai sebagai sedekah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ » . قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ ، فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهْوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ »

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia perhatian dalam memuliakan tamunya.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud perhatian di sini, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu perhatikanlah ia sehari semalam dan menjamu tamu itu selama tiga hari. Siapa yang ingin melayaninya lebih dari tiga hari, maka itu adalah sedekah baginya.” (HR. Bukhari no. 6019 dan Muslim no. 48, dari Syuraih Al ‘Adawi). Para ulama menjelaskan bahwa makna hadits ini adalah seharusnya tuan rumah betul-betul perhatian melayani tamunya di hari pertama (dalam sehari semalam) dengan berbuat baik dan berlaku lembut padanya. Adapun hari kedua dan ketika, hendaklah tuan rumah memberikan makan pada tamunya sesuai yang mudah baginya dan tidak perlu ia lebihkan dari kebiasaannya. Adapun setelah hari ketiga, maka melayani tamu di sini adalah sedekah dan termasuk berbuat baik. Artinya, jika ia mau, ia lakukan dan jika tidak, tidak mengapa (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 21/31). Imam Asy Syafi’i rahimahullah dan ulama lainnya mengatakan, “Menjamu tamu merupakan bagian dari akhlaq yang mulia yang biasa dilakukan oleh orang yang nomaden dan orang yang mukim” (Lihat Syarh Al Bukhari libni Baththol, 17/381). Sudah sepatutnya kita dapat mencontoh akhlaq yang mulia ini.

 

Berbicara dengan Lemah Lembut

Dalam ayat yang kami bawakan di awal tadi, kita dapat menyaksikan bagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam juga mencontohkan akhlaq berbicara lembut kepada para tamunya. Lihatlah ketika menjawab salam tamunya, beliau menjawab, “Salaamun qoumun munkarun” (selamat atas kalian kaum yang tidak dikenal). Kalimat ini dinilai lebih halus dari kalimat ‘ankartum‘ (aku mengingkari kalian). Begitu pula ketika Ibrahim mengajak mereka untuk menyantap makanan. Bagaimana beliau menawarkan pada mereka? Beliau katakan, “Ala ta’kuluun” (mari silakan makan). Bahasa yang digunakan Ibrahim ini dinilai lebih halus dari kalimat, “Kuluu” (makanlah kalian). Ibaratnya Ibrahim menggunakan bahasa yang lebih halus ketika berbicara dengan tamunya. Kalau kita mau sebut, beliau menggunakan bahasa “kromo” (bahasa yang halus dan lebih sopan di kalangan orang jawa). Inilah contoh dari beliau bagaimana sebaiknya seseorang bertutur kata. Inilah pula yang diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau pun bersabda,

لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

“Kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan (pada orang yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah ketika manusia sedang terlelap tidur.” (HR. Tirmidzi no. 1984 dan Ahmad 1/155, hasan)

Demikianlah akhlaq mulia dari Nabi Ibrahim yang seharusnya dapat kita jadikan teladan. Dalam sebuah ayat, Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ

“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian.” (QS. Al Mumtahanah: 6)

Buah Manis Dari Syukur

Buah Manis Dari Syukur

Buah Manis dari SyukurDari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667).

Setiap saat kita telah mendapatkan nikmat yang banyak dari Allah, namun terkadang terus merasa kurang, merasa sedikit nikmat yang Allah beri. Allah beri kesehatan yang jika dibayar amatlah mahal. Allah beri umur panjang, yang kalau dibeli dengan seluruh harta kita pun tak akan sanggup membayarnya. Namun demikianlah diri ini hanya menganggap harta saja sebagai nikmat, harta saja yang dianggap sebagai rizki. Padahal kesehatan, umur panjang, lebih dari itu adalah keimanan, semua adalah nikmat dari Allah yang luar biasa.

Ibnul Qoyyim menceritakan bahwa ada seorang Arab menemui Amirul Mukminin Ar Rosyid. Orang itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin. Semoga Allah senantiasa memberikanmu nikmat dan mengokohkanmu untuk mensyukurinya. Semoga Allah juga memberikan nikmat yang engkau harap-harap dengan engkau berprasangka baik pada-Nya dan kontinu dalam melakukan ketaatan pada-Nya. Semoga Allah juga menampakkan nikmat yang ada padamu namun tidak engkau rasakan, semoga juga engkau mensyukurinya.” Ar Rosyid terkagum-kagum dengan ucapan orang ini. Lantas beliau berkata, “Sungguh bagus pembagian nikmat menurutmu tadi.” (Al Fawa’id, Ibnul Qayyim, terbitan, Darul ‘Aqidah, hal. 165-166).

Itulah nikmat yang sering kita lupakan. Kita mungkin hanya tahu berbagai nikmat yang ada di hadapan kita, semisal rumah yang mewah, motor yang bagus, gaji yang wah, dsb. Begitu juga kita senantiasa mengharapkan nikmat lainnya semacam berharap agar tetap istiqomah dalam agama ini, bahagia di masa mendatang, hidup berkecukupan nantinya, dsb. Namun, ada pula nikmat yang mungkin tidak kita rasakan, padahal itu juga nikmat.

Bayangan kita barangkali, nikmat hanyalah uang, makanan dan harta mewah. Padahal kondisi sehat yang Allah beri dan waktu luang pun nikmat. Bahkan untuk sehat jika kita bayar butuh biaya yang teramat mahal. Namun demikianlah nikmat yang satu ini sering kita lalaikan.

Syukur adalah akhlaq yang mulia, yang muncul karena kecintaan dan keridho’an yang besar terhadap Sang Pemberi Nikmat. Syukur tidak akan mungkin bisa terwujud jika tidak diawali dengan keridho’an. Seseorang yang diberikan nikmat oleh Allah walaupun sedikit, tidak mungkin akan bersyukur kalau tidak ada keridho’an. Orang yang mendapatkan penghasilan yang sedikit, hasil panen yang minim atau pendapatan yang pas-pasan, tidak akan bisa bersyukur jika tidak ada keridho’an. Demikian pula orang yang diberi kelancaran rizki dan harta yang melimpah, akan terus merasa kurang dan tidak akan bersyukur jika tidak diiringi keridho’an. 

Buah Manis dari Syukur

Syukur Adalah Sifat Orang Beriman

Rasulullah ` bersabda, “Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mu’min sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya” (H.R. Muslim no.7692).

Merupakan Sebab Datangnya Ridha Allah

Allah l berfirman, “Jika kalian ingkar, sesungguhnya Allah Maha Kaya atas kalian. Dan Allah tidak ridha kepada hamba-Nya yang ingkar dan jika kalian bersyukur Allah ridha kepada kalian” (Q.S. Az-Zumar [39]: 7).

Merupakan Sebab Selamatnya Seseorang Dari Azab Allah

Allah berfirman, “Tidaklah Allah akan mengadzab kalian jika kalian bersyukur dan beriman. Dan sungguh Allah itu Syakir lagi Alim” (QS. An-Nisa [4]: 147).

Merupakan Sebab Ditambahnya Nikmat

Allah berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’” (Q.S. Ibrahim [14]: 7).

Ganjaran Di Dunia dan Akhirat

Janganlah Anda menyangka bahwa bersyukur itu hanya sekedar pujian dan berterima kasih kepada Allah. Ketahuilah bahwa bersyukur itupun menuai pahala, bahkan juga membuka pintu rezeki di dunia. Allah l berfirman, “Dan sungguh orang-orang yang bersyukur akan kami beri ganjaran” (QS. Ali Imran [3]: 145). Imam Ath Thabari menafsirkan ayat ini dengan membawakan riwayat dari Ibnu Ishaq, “Maksudnya adalah, karena bersyukur, Allah memberikan kebaikan yang Allah janjikan di akhirat dan Allah juga melimpahkan rizki baginya di dunia” (Tafsir Ath Thabari, 7/263).

 

Bumi Allah itu luas, syukur kita jangan sampai sempit.

Sedekah di Hari Jumat

Sedekah di Hari Jumat

Sedekah di Hari JumatHari jumat merupakan hari yang istimewa bagi umat muslim. Selain karena mendekati akhir pekan, ternyata banyak kebaikan di hari jumat. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri menganjurkan umatnya untuk senantiasa memperbanyak amalan dan ibadah pada hari Jumat ini. Salah satunya adalah sedekah di hari Jumat. 

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata tentang keutamaan hari Jumat, “Bahwasanya sedekah di hari Jumat dibandingkan semua hari dalam sepekan seperti sedekah di bulan Ramadhan dibandingkan bulan-bulan selainnya.”

Bersedekah tidak selalu dalam bentuk harta atau materi saja. Tetapi segala sesuatu yang bersifat non harta pun jika diberikan kepada orang lain dan bermanfaat maka juga sedekah.

Bahkan untuk hal paling sederhana seperti memberikan sebuah senyuman kepada orang lain, bisa disebut juga sebagai sedekah. Dengan begitu, tidak perlu menunggu banyak harta atau banyak barang berharga untuk melakukan sedekah ini.

Seperti yang disampaikan dalam QS Al-Zalzalah ayat 7-8 “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”.

Artinya, sedekah kita, dalam bentuk apapun itu asalkan dengan niat dan tujuan kebaikan, maka Allah akan membalas dengan kebaikan atau pahala yang setimpal. Dan Allah dengan Maha Adilnya, tidak menilai hanya dari besarnya pemberian kita, tetapi juga bagaimana kualitas ibadah kita.

Hari Jumat juga menjadi hari terbaik dimana nilai dan segala macam pahala akan dilipat gandakan, sehingga melakukan ibadah di hari Jumat akan memperoleh pahala yang berlipat ganda. Kebaikan di hari Jumat juga akan membuahkan keajaiban yang tidak pernah di duga sebelumnya seperti aliran rezeki yang semakin lancar. Sekali lagi sedekah tidak selalu harus berupa materi, akan tetapi juga bisa dalam bentuk bantuan atau tenaga yang bermanfaat untuk orang lain.

Allah juga sudah menyiapkan ampunan, pengabulan doa dan juga pahala yang sangat besar bagi setiap hamba beriman dan oleh karena itu, hendaknya amal shalih dan juga ketaatan lebih ditingkatkan khususnya pada ibadah di hari jumat.

bersedakah di hari Jumat, terlebih bagi para laki-laki yang akan melaksanakan shalat Jumat adalah hal yang istimewa. Apalagi hari Jumat pun merupakan hari yang diberkahi dan penuh dengan keistimewaan. Jika hal tersebut sering dilakukan, maka pahala dan keutamannya sangat besar sekali.

Tak hanya itu, pada hari ini pun banyak sekali kebaikan-kebaikan yang menyertai. Bahkan ketika seseorang memohon kebaikan kepada Allah pada waktu itu, maka Allah akan senantiasa memberinya kebaikan dengan mudah.

Lengkung Terbaik Dari Wajah Itu

Lengkung Terbaik Dari Wajah Itu

Lengkung Terbaik Dari Wajah ItuPada awal abad ke-20, senyum secara resmi telah diakui sebagai ilmu yang disebut “Psikologi Tertawa.”. “Senyum mencairkan es, menanamkan kepercayaan diri dan menyembuhkan luka, itu adalah kunci dari hubungan manusia yang tulus,” jelas Voltaire.

Abu Hurairah juga meriwayatkan jika Rasulullah pernah bersabda: “Kamu tidak dapat memuaskan orang dengan kekayaanmu, tetapi bisa memuaskan mereka dengan wajah ceria dan akhlak yang baik” (Abu Ya`la dan Al-Hakim; hadits shahih).

Kebaikan bisa kita lakukan dengan cara sederhana, sedekah itu tidak harus selalu kita lakukan dengan memberi sejumlah materi jika kita memang tidak punya apa-apa. Karena membuat gerakan ekspresif dengan menarik sudut bibir ke atas tanpa bersuara sudah merupakan sedekah.

Senyum adalah kebajikan,

Rasulullah pernah bersabda, diriwayatkan dalam Hadits Riwayat Muslim, yang berbunyi: “Janganlah engkau meremehkan kebaikan sedikitpun, meskipun hanya dengan bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang berseri.” (HR. Muslim no 2626).

Jika kita sering tersenyum, kita sedang menjalankan salah satu sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam suka sekali menebarkan tersenyum.

Senyum itu sarana berbuat baik kepada manusia,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kamu tidak akan mampu berbuat baik kepada semua manusia dengan hartamu, maka hendaknya kebaikanmu sampai kepada mereka dengan keceriaan (pada) wajahmu.” (HR. al-Hakim (1/212).

Jadi bisa disimpulkan dengan senyum, kita bisa menghadirkan kebaikan-kebaikan tersendiri dalam hidup kita. Dengan tersenyum, kita secara tidak sadar memberikan energi positif kepada orang yang menerima senyuman kita.

Sebagaimana yang dipaparkan dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi yang berbunyi:

“Menampakkan wajah manis di hadapan seorang muslim akan meyebabkan hatinya merasa senang dan bahagia, dan melakukan perbuatan yang menyebabkan bahagianya hati seorang muslim adalah suatu kebaikan dan keutamaan.” (Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” no. 6 hal 75-76).

Itulah makna dibalik lengkung terbaik dari wajah kita. Karena di balik senyum, terdapat pahala yang banyak, dan juga senyum mudah untuk dilakukan.

Selamat hari kamis, untukmu yang bersenyum manis.

Keberkahan Menyantuni Anak Yatim

Keberkahan Menyantuni Anak Yatim

Keberkahan Menyantuni Anak Yatim – Dalam kehidupan sehari-hari tidak ada seorang anak yang ingin hidup sendiri tanpa adanya kehadiran orang tua. Namun, jika Allah SWT sudah menakdirkan manusia pada umurnya, manusia tidak bisa berbuat apapun. Seorang anak yang ditinggalkan atau wafatnya kedua orang tua mereka disebut Anak yatim piatu.

Keberkahan Menyantuni Anak Yatim – Keberadaan Anak yatim piatu menjadi keberkahan bagi setiap orang yang selalu peduli terhadap kehidupan anak tersebut, seperti yang dilakukan memberi makan, nafkah bahkan menyantuninya untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup anak yatim piatu itu sendiri.

Adapun keberkahan dan pahala yang akan didapat oleh orang yang senang menyantuni anak yatim piatu, dan betapa agungnya pahala yang akan Allah SWT berikan.

Apabila seseorang menyantuni anak yatim, maka akan seperti berinfak di jalan Allah dan Allah SWT. … “Barang siapa yang mengikutsertakan seorang anak yatim diantara dua orang tua yang muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga mencukupinya maka ia pasti masuk surga.” (HR. Al-Baniy, Shahih At Targhib)

Rasulullah SAW sudah memberi jaminan jika pahala yang bisa didapat saat menyantuni anak yatim setara dengan pahala orang yang sedang berkihad.

Rasulullah menjelaskan jika disaat menyantuni anak yatim, maka hal tersebut sama halnya dengan bangun pada waktu malam dan berpuasa di siang hari kemudian dilanjutkan denga keluar di sore serta pagi untuk jihad di jalan Allah SWT.

Begitu juga keberkahan menyantuni anak yatim piatu akan senantiasa mendapat sisi kehidupan yang akan baik dan dijauhi dari bahaya karena pertolongan do’anya anak tersebut.

Seperti yang Allah janjikan bagi siapa saja yang menyayangi anak yatim piatu akan dibalas dengan pahala berlipat ganda.

Allah SWT akan membalas kebaikan orang yang sangat mencintai anak yatim piatu, jikapun ada anak yatim yang sangat nakal tidak seharusnya kita sebagai manusia memperlakukan mereka dengan mencercanya bahkan ada yang sampai menghinanya.

Seseorang yang sangat sayang sekaligus menyantuni anak yatim juga akan masuk kedalam golongan orang dengan iman dan taqwa oleh Allah SWT.

“Dan memberikan harya yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” [Al Baqarah: 177].

Itulah keberkahan dan pahala yang dijanjikan oleh Allah SWT beserta rasul-nya menurut ajaran Islam.

Copyright © 2001-2023 Yayasan Yay. Nurul Hayat Surabaya